PENDAHULUAN
Setelah beberapa
puluh tahun lamanya golongan Mu’tazilah mencapai kepesatan dan kemegahannya,
akhirnya mengalami kemunduran. Kemunduran ini sebenarnya karena perbuatan
mereka sendiri. Puncak kemunduran ini, mengakibatkan timbulnya “ Peristiwa
Quran “ yang memecah kaum muslimin menjadi dua blok yaitu blok yang menuj
kekuatan akal pikiran dan menundukan agama kepada ketentuannya dan blok lain
yang berpegang teguh kepada bunyi karena bunyi nas-nas Quran dan Hadis
semata-mata dan menganngap tiap-tiap yang baru sebagai bid’ah dan kafir.
Akan tetapi mundurnya golongan Mu’tazilah sebagai golongan
yang teratur tidak menghalang-halangi lahirnya simpatisan dan pengikut-pengikut
yang setia menyiarkan ajaran-ajarannya. Kalau pemikiran islam pada golongan
Mu’tazilah bercorak rasionalis murni maka pada sesudahnya berubah coraknya
sedmikian rupa, sehingga bisa diterima sebagai alat memperkuat ajaran-ajaran
agama dan tali penghubung taklid buta yang memegangi teguh text-text / nas dengan penakwilan nas sebagai jalan untuk
menundukkan agama kepada akal pikiran semata-mata. Tali penghubung tersebut
diadakan oleh seorang yang mula-mula terdidik atas paham kemu’tazilahan dan
memeluk ajaran-ajarannya, akan tetapi pada akhirnya ia meninggalkan
ajaran-ajaran tersebut dan dijelaskannya ajaran yang berdiri sendiri, terkenal
kemudian dengan nama “ Aliran Ahli Sunnah wal Jama’ah / Asy’ariyah “. Ahli
pikir tersebut ialah Abu Hasan al-Asy’ari.
PEMBAHASAN
A. Riwayat
Hidup Abu al-Hasan al-Asy’ari
Abdul-Hasan
Ali bin Ismail Al-Asy’ari lahir di Bashrah tahun 260 H/873 M,wafat di Baghdad
tahun 324 H/935 M. Ia adalah cucu sahabat Rasul yang terkenal, Abu Musa
al-Asy’ari. Pada waktu kecil ia berguru pada seorang Mu’tazilah Al-Jubba’I, ia
mempelajari ajaran- ajaran Mu’tazilah dan mendalaminya. Aliran ini diikutinya
sampai berusia 40 tahun,dan tidak sedikit dari hidupnya digunakan untuk
mengarang buku-buku kemu’tazilahan. Ketika berusia 40 tahun, ia merenung
sekitar 15 hari dirumahnya.Ia memutuskan keluar dari Mu’tazilah karena muncul
keraguan dalam dirinya tentang mu’tazilah. Ia mengkhawatirkan Qur’an dan Hadits
menjadi kurban paham-paham kaum mu’tazilah yang menurut pendapatnya tidak dapat
dibenarkan karena didasarkan atas pemujaan akal-fikiran.
Sehingga
ia mengambil jalan tengah antara golongan rasionalis dan textualist dan
ternyata jalan tersebut dapat diterima kaum Muslimin, karena kegigihannya
menyebarluaskan paham barunya sehingga terbentuk mazhab baru dalam teologi
Islam yang dikenal dengan nama Ahlussunnah Waljamaah. Pengikut al-Asy’ari
sendiri sering disebut pula Asy’ariah.
B. Karya-Karya
al-Asy’ari
Abu
al-Hasan al-Asy’ari adalah ulama dan tokoh besar yang sangat berpengaruh di
dunia Islam. Ia ahli bahasa Arab, fikih, tafsir, hadis, dan terutama tauhid. Diantara
karya tulis terpenting di bidang teologi yang merupakan titik tolak
pengembangan mazhab yang didirikannya,diantara tiga kitab karyanya yang
terkenal yaitu
:
1. Maqalat
al-Islamiyyin wa ikhtilaf al-Mushallin.
2. Al-Ibanah ‘an Ushul
al-Diyanah.
3. Al-Luma fi al-Radd
‘ala Ahl al-Ziyaq wa al-Bi.
C. Mazhab Dan Corak Pemikirannya
Dua
corak yang kelihatannya berlawanan pada diri Al-Asy’ari, tetapi saling
melengkapi.
1. Ia
berusaha mendekati orang-orang aliran
fiqih Sunni, sehingga ada yang mengatakan bahwa ia bermazhab Syafi’iy, Maliki,
dan Hanbali.
2. Adanya
keinginan menjauhi aliran-aliran fiqih.
Dua
hal tersebut adalah akibat pendekatan
diri kepada aliran-aliran ( mazhab ) fikih Sunni dan keyakinan adanya kesatuan
aliran-aliran dalam soal-soal kecil ( furu’ ). Menurut pendapat Al-Asy’ari,
semua orang yang berijtihad adalah benar.
Dengan
demikian jelaslah kedudukan Asy’ari, seperti yang digambarkan
pengikut-pengikutnya, sebagai seorang muslim yang benar-benar ikhlas membela
kepercayaannya, mempercayai sepenuhnya isi nas-nas Qur’an dan Hadist, dengan
menjadikannya sebagai dasar atau pokok di samping menggunakan akal-fikiran,
yang tugasnya memeperkuat nas-nas tersebut.
Beberapa
pokok-pokok pikiran al-Asy’ari antara lain :
a.
Sifat-sifat
tuhan.
Tuhan mempunyai sifat-sifat sebagaimana disebutkan di dalam
al-Qur’an. Allah mengetahui dengan ‘ilm
(ilmu), berkuasa dengan qudrah, hidup dengan hayah, berkehendak dengan iradah,
berkata dengan kalam, dan seterusnya. Sifat-sifat itu bukanlah zat Tuhan, bukan
pula lain dari zat-Nya.
b.
Al-Qur’an.
Al-Qur’an adalah qadim, bukan makhluk ( di ciptakan
). Hal ini didasarkan pada ayat 40 surat an-Nahl:
$yJ¯RÎ) $uZä9öqs%
>äóÓy´Ï9 !#sÎ)
çm»tR÷ur& br&
tAqà)¯R
¼çms9 `ä.
ãbqä3usù ÇÍÉÈ
“Sesungguhnya
perkataan kami terhadap sesuatu apabila Kami menghendakinya , Kami mengatakan
kepadanya,”kun ( jadilah )” maka jadilah ia”.
c.
Melihat
Tuhan.
Tuhan dapat dilihat dengan mata kepala manusia di
akhirat kelak. Dasarnya adalah firman dalam surat al-Qiyamah ayat 22-23:
×nqã_ãr 7Í´tBöqt îouÅÑ$¯R
ÇËËÈ 4n<Î)
$pkÍh5u ×otÏß$tR
ÇËÌÈ
“Wajah-wajah
orang mukmin pada hari itu berseri-seri.Kepada Tuhan mereka melihat”.
d.
Perbuatan
manusia.
Perbuatan manusia diciptakan Tuhan, bukan diciptakan
oleh manusia itu sendiri. Dasar yang digunakan oleh al-Asy’ari untuk mengatakan
bahwa perbuatan manusia diciptakan Tuhan adalah ayat 96 surat al-Shaffat:
ª!$#ur
ö/ä3s)n=s{
$tBur tbqè=yJ÷ès? ÇÒÏÈ
“Dan Allah menciptakan
kamu dan apa yang kamu perbuat”.
D. Perkembangan Aliran Asy’ariyyah
Ada
dua aliran alam fikiran Islam, yaitu aliran lama dan aliran baru, akan tetapi
sesudah wafatnya, aliran Asy’ariyyah mengalami perubahan yang cepat. Pada
akhirnya aliran Asy’ariyyah lebih condong kepada segi akal-fikiran semata-mata
dan memberinya tempat yang lebih luas dari pada nas-nas itu sendiri. Mereka
sudah berani mengeluarkan keputusan, bahwa “akal menjadi dasar naqal ( nas )”karena
dengan akallah kita menetapkan adanya Tuhan.
Sikap
tersebut membuat Ahlus-sunnah tidak dapat menerima golongan Asy’ariyyah, bahkan
memusuhinya, sebab dianggap sesat ( bid’ah ). Sesudah adanya permusuhan ini
menjadi berkurang, sehingga datang Nizamul-mulk, seorang menteri Saljuk, yang
mendirikan dua sekolah terkenal dengan namanya” Nizamiyyah” di Nizabur dan
Baghdad, dimana hanya aliran Asy’ariyyah saja yang boleh diajarkan. Sejak itu,
aliran Asy’ariyyah menjadi aliran resmi Negara, dan golongan Asy’ariyyah
menjadi golongan Ahli Sunnah.
E. Tokoh-Tokoh Aliran Asy’ari
1. Al-Baqilani
(wafat 403 H/ 1013 M)
Namanya Abu Bakar Muhammad bin Tayyib,
diduga kelahiran kota Basrah, tempat kelahiran gurunya, Al-Asy’ari. Kitabnya
yang terkenal ialah At-Tamhid (“Pendahuluan/Persiapan”). Al-Baqilani mengambil
teori teori atom yang telah dibicarakan aliran Mu’tazilah dan dijadikan dasar
penetapan adanya kekuasaan Tuhan tidak terbatas. Dalam beberapa hal ia tidak
sepaham dengan Al-Asy’ari. Apa yang disebut sifat Allah umpamanya, bagi
Al-Baqilani bukanlah sifat, tetapi hal, sesuai dengan pendapat Abu
Hasyim dari Mu’tazilah; sungguhpun ia pada mulanya mempunyai pendapat yang
sebaliknya.[1]
2. Al-Juwaini
(419-478 H/ 1028-1085 M)
Namanya Abu
al-Ma’ali bin Abdillah dilahirkan di Nisabur, kemudian pergi ke kota Muaskar,
dan akhirnya sampai di kota Baghdad. Ia adalah orang yang pertama-tama
membentuk fikih Syafi’i atas dasar aliran Asy’ari, sebagaimana yang ditulis
dalam kitabnya Al-Irsyad, berisi pokok-poko kepercayaan. Tentang sifat
Tuhan, menurut Al-Juwaini di bagi menjadi dua bgian, yaitu:
1. Sifat nafsiyah, yaitu yang ada pada
Zat Tuhan tanpa ilat (illat).
2. Sifat ma’nawiyah, yaitu yang timbul sebagai kelanjutan sifat nafsiyah
tersebut.
Sifat-sifat
Tuhan ialah:
1. Wujud (ada).
2. Baaqin (kekal/abadi).
3. Tidak ada yang menyamai-Nya.
4. Tidak berukuran (imtidad).
Sifat terakhir ini membawa Al-Juwaini kepada suatu keharusan penakwilan
nas-nas yang berisi ke-jisim-an (kebendaan) dan ruang bagi Tuhan.
Al-Juwaini juga tidak selamanya setuju dengan ajaran-ajaran yang
ditinggalkan al-Asy’ari. Mengenai anthropomorphisme umpamanya ia berpendapat
bahwa tangan Tuhan harus diartikan (ta’wil) kekuasaan Tuhan, mata Tuhan
diartikan penglihatan Tuhan dan wajah Tuhan diartikan wujud Tuhan.[2]
Dan keadaan Tuhan duduk di atas tahta kerajaan diartikan Tuhan Berkuasa dan
Mahatinggi.[3]
3. Al-Ghazali
(450-505 H)
Nama lengkapnya Abu Hamid
Muhammad bin Muhammad al-Ghazali. Dilahirkan di kota Tus, kota di negeri
Khurasan. Gurunya antara lain Al-Juwaini. Jabatan yang pernah dipegangnya ialah
mengajar di sekolah Nizamiyah Baghdad. Kedudukan Al-Ghazali dalam aliran
Asy’ariyah sangat penting, karena ia telah meninjau semua persoalan yang telah
ada dan memberikan pendapat-pendapatnya yang hingga kini masih dipegangi ulama
Islam, yang karenanya ia mendapt gelar Hujatul Islam (“Tokoh Islam”).
Dalam kitab Ihya Ulum ad-Din,1:29, ia mengatakan, bahwa ilmu tentang
Allah, sifat-sifat dan perbuatan-Nya tidak bisa dicapai dengan ilmu kalam,
bahkan ilmu ini bisa menghalang-halangi.
Dalam hal paham teologi, Al-Ghazali tetap mengakui bahwa Tuhan mempunyai
sifat-sifat qadim yang tidak identik dengan zat Tuhan dan mempunyai
wujud di luar zat.[4]
Juga al-Qur’an, dalam pendapatnya bersifat qadim dan tidak diciptakan.[5]
Mengenai perbuatan manusia, ia juga berpendapat bahwa Tuhanlah yang menciptakan
daya dan perbuatan.[6]
Dan daya untuk berbuat yang terdapat dalam diri manusia lebih dekat menyerupai
impotensi.
4. As-Sanusi (833-895 H/ 1427-1490 M)
Nama
lengkapnya Abu Abdillah Muhammad bin Yusuf. Dilahirkan di Tilimsan, sebuah kota
di Aljazair.
Kitab-kitabnya
antara lain:
1. Aqidah Ahlit Tauhid (disebut juga “Akidah Tauhid Besar”) dan
syarahnya berjudul Umdah Ahlit Taufiq wat-Tasdid (“Pegangan Ahli
Kebenaran”, maksudnya Ahli Sunah).
2. Ummul Barahin (disebut juga “Akidah Tauhid Kecil”) atau Risalah
as-Sanusiyyah.
Kitab terakhir ini tidak begitu besar, akan tetapi besar pengaruhnya
dalam dunia aliran Asy’ariyah, sehingga banyak yang memberikan ulasan kitab
tersebut ialah adanya pembagian sifat-sifat Tuhan, rasul-rasul-Nya, kepada jumlah
tertentu dan membaginya kepada wajib, mustahil dan jaiz.
PENUTUP
Demikianlah
aliran Asy’ariyah yang kami bahas dalam mulai dari riwayat hidup, karya, mazhab
dan corak pemikirannya, perkembangannya serta tokoh-tokohnya. Apabila banyak
kesalahan dan kekurangan dalam pembahasan, sekiranya dapat dimaklumi dikarenakan
kapasitas kemampuan kami yang sangat terbatas pada kajian skami ini. Lalu kami
dapat menarik benang merah dari kajian ini yaitu :
1. Aliran Asy’ariyah
dalam menetapkan suatu pendapat, lebih mengutamakan sumber yang berasal dari
nash-nash Al-Qur’an. Walaupun demikian, tidak mengesampingkan yang menurut akal
pikiran itu benar.
2. Al-Asy’ari
menentang dengan keras terhadap orang yang mengatakan bahwa pemakaian akal
pikiran dalam soal-soal agama atau membahas soal-soal yang tidak pernah
disinggung-singgung Rasul adalah salah.
3. Tokoh-tokoh
Asy’ariyah seperti Al-Baqilani, Al-Juwaini, Al-Ghazali, dan As-Sanusi dalam mengutarakan
pendapatnya tentang sesuatu hal, tidak selamanya setuju dengan yang dikatakan
oleh pendiri aliran tersebut yaitu Al-Asy’ari. Dalam beberapa hal mereka
berpendapat lain. Walaupun mereka termasuk dalam kategori tokoh-tokoh
Al-Asy’ariyah.
DAFTAR PUSTAKA
Hanafi, Ahmad. 2001. Teologi
Islam (Ilmu Kalam), Jakarta; Bulan Bintang.
Pokja Akademik UIN Sunan
Kalijaga. 2005. Tauhid, Yogyakarta.
Asmuni, M.Yusron. 1993. Ilmu
Tauhid. Jakarta; Raja Grafindo Persada.
Nasution,
Harun. 1986. Teologi Islam Dan Aliran Analisa Perbandingan. Jakarta;
Universitas Indonesia, (UI-Press).
Rozak, Abdul. Dkk. 2003. Ilmu Kalam, Bandung; CV. Pustaka.
[1] Lihat Fi’Ilm al-Kalam, 226, cf.al-Milal, I/95 dan Louis
Gardet et MM. Anawati, Introduction a la Theologie Musulmmane, Paris, 1948,
hlm.155.
[2] Al-Irsyad
ila Qawati’al-Adillah fi Usul al-I’tiqad, hlm. 155, sebagai dikutip dalam
Fi ‘Ilm al-Kalam, 245.
[3] Luma’
al-Adillah, Kairo, 1965, 95.
[4] Al-Iqtisad
fi al-I’tiqad, Kairo, 1962, hlm.69-81.
[5]
Ibid., 67.
[6]
Ibid., 49.
0 komentar:
Posting Komentar