Rabu, 22 Mei 2013 | By: Unknown

Aliran Asy'ariyah


PENDAHULUAN

Setelah beberapa puluh tahun lamanya golongan Mu’tazilah mencapai kepesatan dan kemegahannya, akhirnya mengalami kemunduran. Kemunduran ini sebenarnya karena perbuatan mereka sendiri. Puncak kemunduran ini, mengakibatkan timbulnya “ Peristiwa Quran “ yang memecah kaum muslimin menjadi dua blok yaitu blok yang menuj kekuatan akal pikiran dan menundukan agama kepada ketentuannya dan blok lain yang berpegang teguh kepada bunyi karena bunyi nas-nas Quran dan Hadis semata-mata dan menganngap tiap-tiap yang baru sebagai bid’ah dan kafir.
Akan tetapi  mundurnya golongan Mu’tazilah sebagai golongan yang teratur tidak menghalang-halangi lahirnya simpatisan dan pengikut-pengikut yang setia menyiarkan ajaran-ajarannya. Kalau pemikiran islam pada golongan Mu’tazilah bercorak rasionalis murni maka pada sesudahnya berubah coraknya sedmikian rupa, sehingga bisa diterima sebagai alat memperkuat ajaran-ajaran agama dan tali penghubung taklid buta yang memegangi teguh text-text /  nas dengan penakwilan nas sebagai jalan untuk menundukkan agama kepada akal pikiran semata-mata. Tali penghubung tersebut diadakan oleh seorang yang mula-mula terdidik atas paham kemu’tazilahan dan memeluk ajaran-ajarannya, akan tetapi pada akhirnya ia meninggalkan ajaran-ajaran tersebut dan dijelaskannya ajaran yang berdiri sendiri, terkenal kemudian dengan nama “ Aliran Ahli Sunnah wal Jama’ah / Asy’ariyah “. Ahli pikir tersebut ialah Abu Hasan al-Asy’ari.

PEMBAHASAN

A. Riwayat Hidup Abu al-Hasan al-Asy’ari
Abdul-Hasan Ali bin Ismail Al-Asy’ari lahir di Bashrah tahun 260 H/873 M,wafat di Baghdad tahun 324 H/935 M. Ia adalah cucu sahabat Rasul yang terkenal, Abu Musa al-Asy’ari. Pada waktu kecil ia berguru pada seorang Mu’tazilah Al-Jubba’I, ia mempelajari ajaran- ajaran Mu’tazilah dan mendalaminya. Aliran ini diikutinya sampai berusia 40 tahun,dan tidak sedikit dari hidupnya digunakan untuk mengarang buku-buku kemu’tazilahan. Ketika berusia 40 tahun, ia merenung sekitar 15 hari dirumahnya.Ia memutuskan keluar dari Mu’tazilah karena muncul keraguan dalam dirinya tentang mu’tazilah. Ia mengkhawatirkan Qur’an dan Hadits menjadi kurban paham-paham kaum mu’tazilah yang menurut pendapatnya tidak dapat dibenarkan karena didasarkan atas pemujaan akal-fikiran.
Sehingga ia mengambil jalan tengah antara golongan rasionalis dan textualist dan ternyata jalan tersebut dapat diterima kaum Muslimin, karena kegigihannya menyebarluaskan paham barunya sehingga terbentuk mazhab baru dalam teologi Islam yang dikenal dengan nama Ahlussunnah Waljamaah. Pengikut al-Asy’ari sendiri sering disebut pula Asy’ariah.

B. Karya-Karya al-Asy’ari
Abu al-Hasan al-Asy’ari adalah ulama dan tokoh besar yang sangat berpengaruh di dunia Islam. Ia ahli bahasa Arab, fikih, tafsir, hadis, dan terutama tauhid. Diantara karya tulis terpenting di bidang teologi yang merupakan titik tolak pengembangan mazhab yang didirikannya,diantara tiga kitab karyanya yang terkenal yaitu :
1. Maqalat al-Islamiyyin wa ikhtilaf al-Mushallin.
2. Al-Ibanah ‘an Ushul al-Diyanah.
3. Al-Luma fi al-Radd ‘ala Ahl al-Ziyaq wa al-Bi.

C. Mazhab Dan Corak Pemikirannya
Dua corak yang kelihatannya berlawanan pada diri Al-Asy’ari, tetapi saling melengkapi.
1. Ia berusaha mendekati  orang-orang aliran fiqih Sunni, sehingga ada yang mengatakan bahwa ia bermazhab Syafi’iy, Maliki, dan Hanbali.
2. Adanya keinginan menjauhi aliran-aliran fiqih.
Dua hal tersebut  adalah akibat pendekatan diri kepada aliran-aliran ( mazhab ) fikih Sunni dan keyakinan adanya kesatuan aliran-aliran dalam soal-soal kecil ( furu’ ). Menurut pendapat Al-Asy’ari, semua orang yang berijtihad adalah benar.
  Dengan demikian jelaslah kedudukan Asy’ari, seperti yang digambarkan pengikut-pengikutnya, sebagai seorang muslim yang benar-benar ikhlas membela kepercayaannya, mempercayai sepenuhnya isi nas-nas Qur’an dan Hadist, dengan menjadikannya sebagai dasar atau pokok di samping menggunakan akal-fikiran, yang tugasnya memeperkuat nas-nas tersebut.
Beberapa pokok-pokok pikiran al-Asy’ari antara lain :
a.       Sifat-sifat tuhan.
Tuhan mempunyai sifat-sifat  sebagaimana disebutkan di dalam al-Qur’an.  Allah mengetahui dengan ‘ilm (ilmu), berkuasa dengan qudrah, hidup dengan hayah, berkehendak dengan iradah, berkata dengan kalam, dan seterusnya. Sifat-sifat itu bukanlah zat Tuhan, bukan pula lain dari zat-Nya.
b.      Al-Qur’an.
Al-Qur’an adalah qadim, bukan makhluk ( di ciptakan ). Hal ini didasarkan pada ayat 40 surat an-Nahl:
$yJ¯RÎ) $uZä9öqs% >äóÓy´Ï9 !#sŒÎ) çm»tR÷Šur& br& tAqà)¯R ¼çms9 `ä. ãbqä3uŠsù ÇÍÉÈ  
“Sesungguhnya perkataan kami terhadap sesuatu apabila Kami menghendakinya , Kami mengatakan kepadanya,”kun ( jadilah )” maka jadilah ia”.
c.       Melihat Tuhan.
Tuhan dapat dilihat dengan mata kepala manusia di akhirat kelak. Dasarnya adalah firman dalam surat al-Qiyamah ayat 22-23:
×nqã_ãr 7Í´tBöqtƒ îouŽÅÑ$¯R ÇËËÈ   4n<Î) $pkÍh5u ×otÏß$tR ÇËÌÈ  
“Wajah-wajah orang mukmin pada hari itu berseri-seri.Kepada Tuhan mereka melihat”.
d.      Perbuatan manusia.
Perbuatan manusia diciptakan Tuhan, bukan diciptakan oleh manusia itu sendiri. Dasar yang digunakan oleh al-Asy’ari untuk mengatakan bahwa perbuatan manusia diciptakan Tuhan adalah ayat 96 surat al-Shaffat:
ª!$#ur ö/ä3s)n=s{ $tBur tbqè=yJ÷ès? ÇÒÏÈ 
“Dan Allah menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat”.

D. Perkembangan Aliran Asy’ariyyah
Ada dua aliran alam fikiran Islam, yaitu aliran lama dan aliran baru, akan tetapi sesudah wafatnya, aliran Asy’ariyyah mengalami perubahan yang cepat. Pada akhirnya aliran Asy’ariyyah lebih condong kepada segi akal-fikiran semata-mata dan memberinya tempat yang lebih luas dari pada nas-nas itu sendiri. Mereka sudah berani mengeluarkan keputusan, bahwa “akal menjadi dasar naqal ( nas )”karena dengan akallah kita menetapkan adanya Tuhan.
Sikap tersebut membuat Ahlus-sunnah tidak dapat menerima golongan Asy’ariyyah, bahkan memusuhinya, sebab dianggap sesat ( bid’ah ). Sesudah adanya permusuhan ini menjadi berkurang, sehingga datang Nizamul-mulk, seorang menteri Saljuk, yang mendirikan dua sekolah terkenal dengan namanya” Nizamiyyah” di Nizabur dan Baghdad, dimana hanya aliran Asy’ariyyah saja yang boleh diajarkan. Sejak itu, aliran Asy’ariyyah menjadi aliran resmi Negara, dan golongan Asy’ariyyah menjadi golongan Ahli Sunnah.

E. Tokoh-Tokoh Aliran Asy’ari
1. Al-Baqilani (wafat 403 H/ 1013 M)
        Namanya Abu Bakar Muhammad bin Tayyib, diduga kelahiran kota Basrah, tempat kelahiran gurunya, Al-Asy’ari. Kitabnya yang terkenal ialah At-Tamhid (“Pendahuluan/Persiapan”). Al-Baqilani mengambil teori teori atom yang telah dibicarakan aliran Mu’tazilah dan dijadikan dasar penetapan adanya kekuasaan Tuhan tidak terbatas. Dalam beberapa hal ia tidak sepaham dengan Al-Asy’ari. Apa yang disebut sifat Allah umpamanya, bagi Al-Baqilani bukanlah sifat, tetapi hal, sesuai dengan pendapat Abu Hasyim dari Mu’tazilah; sungguhpun ia pada mulanya mempunyai pendapat yang sebaliknya.[1]
2. Al-Juwaini (419-478 H/ 1028-1085 M)
                        Namanya Abu al-Ma’ali bin Abdillah dilahirkan di Nisabur, kemudian pergi ke kota Muaskar, dan akhirnya sampai di kota Baghdad. Ia adalah orang yang pertama-tama membentuk fikih Syafi’i atas dasar aliran Asy’ari, sebagaimana yang ditulis dalam kitabnya Al-Irsyad, berisi pokok-poko kepercayaan. Tentang sifat Tuhan, menurut Al-Juwaini di bagi menjadi dua bgian, yaitu:
                        1. Sifat nafsiyah, yaitu yang ada pada Zat Tuhan tanpa ilat (illat).
2. Sifat ma’nawiyah, yaitu yang timbul sebagai kelanjutan sifat nafsiyah tersebut.
Sifat-sifat Tuhan ialah:
                        1. Wujud (ada).
                        2. Baaqin (kekal/abadi).
                        3. Tidak ada yang menyamai-Nya.
                        4. Tidak berukuran (imtidad).
Sifat terakhir ini membawa Al-Juwaini kepada suatu keharusan penakwilan nas-nas yang berisi ke-jisim-an (kebendaan) dan ruang bagi Tuhan.
Al-Juwaini juga tidak selamanya setuju dengan ajaran-ajaran yang ditinggalkan al-Asy’ari. Mengenai anthropomorphisme umpamanya ia berpendapat bahwa tangan Tuhan harus diartikan (ta’wil) kekuasaan Tuhan, mata Tuhan diartikan penglihatan Tuhan dan wajah Tuhan diartikan wujud Tuhan.[2] Dan keadaan Tuhan duduk di atas tahta kerajaan diartikan Tuhan Berkuasa dan Mahatinggi.[3]
3. Al-Ghazali (450-505 H)
     Nama lengkapnya Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali. Dilahirkan di kota Tus, kota di negeri Khurasan. Gurunya antara lain Al-Juwaini. Jabatan yang pernah dipegangnya ialah mengajar di sekolah Nizamiyah Baghdad. Kedudukan Al-Ghazali dalam aliran Asy’ariyah sangat penting, karena ia telah meninjau semua persoalan yang telah ada dan memberikan pendapat-pendapatnya yang hingga kini masih dipegangi ulama Islam, yang karenanya ia mendapt gelar Hujatul Islam (“Tokoh Islam”). Dalam kitab Ihya Ulum ad-Din,1:29, ia mengatakan, bahwa ilmu tentang Allah, sifat-sifat dan perbuatan-Nya tidak bisa dicapai dengan ilmu kalam, bahkan ilmu ini bisa menghalang-halangi.
Dalam hal paham teologi, Al-Ghazali tetap mengakui bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat qadim yang tidak identik dengan zat Tuhan dan mempunyai wujud di luar zat.[4] Juga al-Qur’an, dalam pendapatnya bersifat qadim dan tidak diciptakan.[5] Mengenai perbuatan manusia, ia juga berpendapat bahwa Tuhanlah yang menciptakan daya dan perbuatan.[6] Dan daya untuk berbuat yang terdapat dalam diri manusia lebih dekat menyerupai impotensi.
4. As-Sanusi (833-895 H/ 1427-1490 M)
                        Nama lengkapnya Abu Abdillah Muhammad bin Yusuf. Dilahirkan di Tilimsan, sebuah kota di Aljazair.
                        Kitab-kitabnya antara lain:
1. Aqidah Ahlit Tauhid (disebut juga “Akidah Tauhid Besar”) dan syarahnya berjudul Umdah Ahlit Taufiq wat-Tasdid (“Pegangan Ahli Kebenaran”, maksudnya Ahli Sunah).
2. Ummul Barahin (disebut juga “Akidah Tauhid Kecil”) atau Risalah as-Sanusiyyah.
Kitab terakhir ini tidak begitu besar, akan tetapi besar pengaruhnya dalam dunia aliran Asy’ariyah, sehingga banyak yang memberikan ulasan kitab tersebut ialah adanya pembagian sifat-sifat Tuhan, rasul-rasul-Nya, kepada jumlah tertentu dan membaginya kepada wajib, mustahil dan jaiz.

PENUTUP
Demikianlah aliran Asy’ariyah yang kami bahas dalam mulai dari riwayat hidup, karya, mazhab dan corak pemikirannya, perkembangannya serta tokoh-tokohnya. Apabila banyak kesalahan dan kekurangan dalam pembahasan, sekiranya dapat dimaklumi dikarenakan kapasitas kemampuan kami yang sangat terbatas pada kajian skami ini. Lalu kami dapat menarik benang merah dari kajian ini yaitu :
1. Aliran Asy’ariyah dalam menetapkan suatu pendapat, lebih mengutamakan sumber yang berasal dari nash-nash Al-Qur’an. Walaupun demikian, tidak mengesampingkan yang menurut akal pikiran itu benar.
2. Al-Asy’ari menentang dengan keras terhadap orang yang mengatakan bahwa pemakaian akal pikiran dalam soal-soal agama atau membahas soal-soal yang tidak pernah disinggung-singgung Rasul adalah salah.
3. Tokoh-tokoh Asy’ariyah seperti Al-Baqilani, Al-Juwaini, Al-Ghazali, dan As-Sanusi dalam mengutarakan pendapatnya tentang sesuatu hal, tidak selamanya setuju dengan yang dikatakan oleh pendiri aliran tersebut yaitu Al-Asy’ari. Dalam beberapa hal mereka berpendapat lain. Walaupun mereka termasuk dalam kategori tokoh-tokoh Al-Asy’ariyah.
DAFTAR PUSTAKA

Hanafi, Ahmad. 2001. Teologi Islam (Ilmu Kalam), Jakarta; Bulan Bintang.
Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga. 2005. Tauhid, Yogyakarta.
Asmuni, M.Yusron. 1993. Ilmu Tauhid. Jakarta; Raja Grafindo Persada.
Nasution, Harun. 1986. Teologi Islam Dan Aliran Analisa Perbandingan. Jakarta; Universitas Indonesia, (UI-Press).
Rozak, Abdul. Dkk.  2003. Ilmu Kalam, Bandung; CV. Pustaka.



[1] Lihat Fi’Ilm al-Kalam, 226, cf.al-Milal, I/95 dan Louis Gardet et MM. Anawati, Introduction a la Theologie        Musulmmane, Paris, 1948, hlm.155.
[2] Al-Irsyad ila Qawati’al-Adillah fi Usul al-I’tiqad, hlm. 155, sebagai dikutip dalam Fi ‘Ilm al-Kalam, 245.
[3] Luma’ al-Adillah, Kairo, 1965, 95.
[4] Al-Iqtisad fi al-I’tiqad, Kairo, 1962, hlm.69-81.
[5] Ibid., 67.
[6] Ibid., 49.

0 komentar:

Posting Komentar