PENDAHULUAN
Di dalam ajaran agama yang telah diwahyukan ada dua jalan
untuk memperoleh pengetahuan, pertama, jalan wahyu dalam arti komunikasi dari
Tuhan kepada manusia, dan kedua jalan akal, yang dianugerahkan Tuhan kepada
manusia, dengan memakai kesan-kesan yang diperoleh pancaindera sebagai bahan
pemikiran untuk sampai kepada kesimpulan-kesimpulan. Pengetahuan yang dibawa
wahyu diyakini bersifat absolut dan mutlak benar, sedang pengetahuan yang
diperoleh melalui akal bersifat relatif, mungkin benar dan mungkin salah. Di
zaman kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern timbul pula akhir-akhir
ini pertanyaan :
pengetahuan mana
yang lebih dapat dipercaya, pengetahuan melalui akal atau pengetahuan melalui
wahyu?
Dengan masuknya rasionalisme dan ilmu pengetahuan Barat
ke dunia islam, masalah akal dan wahyu ini menjadi hangat kembali. Dan menurut
D.C. Mulder akan lebih hebat lagi di masa depan, jika kelak pertemuan-pertemuan
kebudayaan Barat dan umat islam tidak lagi hanya terbatas hanya pada golomgan
atas tetapi juga memasuki masyarakat umum. Dan diketika itu bukan hanya
perseorangan-perseorangan yang akan sibuk dengan masalah akal dan wahyu itu,
tetapi juga golongan besar kaum ulama tidak akan dapat melaskan diri dari
pembahasannya.
Masalah akal dan wahyu pada abad kedua puluh satu
sekarang memang sudah banyak dibicarakan kembali dan menjadi bahan pembahasan
yang tetap menarik dan segar untuk dibicarakan.
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Kata akal yang sudah menjadi
kata Indonesia, berasal dari kata Arab al-‘aql (العقل), yang dalam bentuk kata benda, berlainan dengan kata al-wahy
(الوحى),
tidak terdapat dalam Al-Qur’an. Al-Qur’an hanya membawa bentuk kata kerjanya ‘aqaluh
(عقلوه) dalam
1 ayat, ta’qilun (تعقلون) 24 ayat, na’qil (نعقل) 1 ayat, ya’qiluha (يعقلها) 1 ayat dan ya’qilun (يعقلون) 22 ayat. Kata-kata itu datang dalam arti faham dan mengerti.
Kalau kita lihat kamus-kamus Arab, akan kita jumpai kata ‘aqala berarti mengikat dan menahan. Maka tali
pengikat serban, terkadang berwarna hitam dan terkadang berwarna emas, yang
dipakai di Arab Saudi dll, disebut ‘iqal (عقال); dan menahan orang di dalam penjara disebut i’taqala (اعتقل) dan
tempat tahanan mu’taqal (معتقل).[1]
Dalam pemahaman Profesor Izutzu, kata ‘aqla di zaman jahiliyah
dipakai dalam arti kecerdasan praktis (practical intelligene) yang dalam
istilah psikologi modern disebut kecakapan memecahkan masalah (problem-solving
capacity). Orang berakal, menurut pendapatnya adalah, orang yang mempunyai
kecakapan untuk menyelesaikan masalah, setiap kali ia dihadapkan dengan
problema dan selanjutnya dapat melepaskan diri dari bahaya yang ia hadapi.
Kebikjasanaan praktis serupa ini amat dihargai oleh orang Arab zaman jahiliyah.[2]
Wahyu berasal dari kata Arab al-wahy (الوحي), dan al-wahy adalah kata asli Arab dan bukan kata
pinjaman dari bahasa asing. Kata itu berarti suara, api dan kecepatan. Di
samping itu ia juga mengandung arti bisikan, isyarat, tulisan dan kitab. Al-wahy
selanjutnya mengandung arti pemberitahuan secara tersembunyi dan dengan cepat.
Tetapi kata itu lebih dikenal dalam arti “apa yang disampaikan Tuhan kepada
nabi-nabi”. Dalam kata wahyu dengan demikian terkandung arti penyampaian sabda
Tuhan kepada orang pilihanNya agar diteruskan kepada umat manusia untuk
dijadikaan pegangan hidup. Sabda Tuhan itu mengandung ajaran, petunjuk dan
pedoman yng diperlukan umat manusia dalam perjalanan hidupnya baik di dunia ini
maupan di akhirat nanti.[3]
Dalam Islam wahyu atau sabda Tuhan yang disampaikan kepada Nabi Muhaammad s.a.w
terkumpul semuanya dalam Al-Qur’an.[4]
1. Wahyu baik berupa Al-qur’an dan Hadits bersumber dari tuhan, pribadi nabi
Muhammad yang menyampaikan wahyu ini, memainkan peranan yang sangat penting
dalam turunnya wahyu.
2. Wahyu merupakan
perintah yang berlaku umum atas seluruh umat manusia, tanpa mengenal ruang dan
waktu, baik perintah itu disampaikan dalam bentuk umum atau khusus.
3. Wahyu itu adalah nash-nash yang
berupa bahasa arab dengan gaya ungkap dan gaya bahasa yang berlaku.
4. Apa yang dibawa
oleh wahyu tidak ada yang bertentangan dengan akal, bahkan ia sejalan dengan
prinsip-prinsip akal.
5. Wahyu itu merupakan satu kesatuan yang lengkap, tidak terpisah-pisah.
6. Wahyu itu menegakkan hukum menurut
kategori perbuatan manusia, baik perintah maupun larangan.
7. Sesungguhnya
wahyu yang berupa Al-Qur’an dan As-Sunnah turun secara berangsur-angsur dalam
rentang waktu yang cukup panjang.
1. Akal menurut pendapat Muhammad Abduh
adalah suatu daya yang hanya dimiliki manusia dan oleh karena itu Dialah yang
memperbedakan manusia dari mahluk lain.
2. Akal adalah
tonggak kehidupan manusia yang mendasar terhadap kelanjutan wujudnya,
peningkatan daya akal merupakan salah satu dasar dan sumber kehidupan dan
kebahagiaan bangsa-bangsa.
3. Akal adalah jalan untuk memperoleh
iman sejati, iman tidaklah sempurna kalau tidak didasarkan akal. Iman harus
berdasar pada keyakinan, bukan pada pendapat dan akallah yang menjadi sumber
keyakinan pada Tuhan.
1. Mengetahui Tuhan dan sifat-sifatnya.
2. Mengetahui
adanya hidup akhirat.
3. Mengetahui bahwa kebahagian jiwa di
akhirat bergantung pada mengenal Tuhan dan berbuat baik, sedang kesengsaran
tergantung pada tidak mengenal Tuhan dan pada perbuatan jahat.
4. Mengetahui
wajibnya manusia mengenal Tuhan.
5. Mengetahui wajibnya manusia berbuat
baik dan wajibnya ia menjauhi perbuatan jahat untuk kebahagiannya di akhirat.
6. Membuat hukum-hukum mengenai kewajiban-kewajiban
itu.
1. Wahyu lebih condong melalui dua mukjizat
yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah.
2. Membuat suatu keyakinan pada diri
manusia.
3. Untuk memberi keyakinan yang penuh
pada hati tentang adanya alam ghaib.
4. Wahyu turun melalui para ucapan
nabi-nabi.
Wahyu berfungsi memberi informasi
bagi manusia. Bagi aliran kalam tradisional, akal manusia sudah mengetahui
empat hal, maka wahyu ini berfungsi memberi konfirmasi tentang apa yang telah
dijelaskan oleh akal manusia sebelumnya. Tetapi baik dari aliran Mu’tazilah
maupun dari aliran Samarkand tidak berhenti sampai di situ pendapat mereka,
mereka menjelaskan bahwa betul akal sampai pada pengetahuan tentang kewajiban
berterima kasih kepada tuhan serta mengerjakan kewajiban yang baik dan
menghindarkan dari perbuatan yang buruk, namun tidaklah wahyu dalam pandangan mereka
tidak perlu. Menurut Mu’tazilah dan Maturidiyah Samarkand wahyu tetaplah perlu.
Selanjutnya, wahyu bagi kaum
mu’tazilah mempunyai fungsi memberi penjelasan tentang perincian hukuman dan
upah yang akan diterima manusia di akhirat. Abu Jabbar berkata akal tak dapat
mengetahui bahwa upah untuk suatu perbuatan baik lebih besar dari pada upah
yang ditentukan untuk suatu perbuatan baik lain, demikian pula akal tak
mengetahui bahwa hkuman untuk suatu perbuatan buruk lebih besar dari hukuman
untuk suatu perbuatan buruk yang lain. Semua itu hanya dapat diketahui dengan
perantaraan wahyu. Al-Jubbai berkata wahyulah yang menjelaskan perincian
hukuman dan upah yang akan diperoleh manusia di akhirat.
Dari uraian di atas dapatlah kiranya
disimpulkan bahwa, wahyu bagi Mu’tazilah mempunyai fungsi untuk informasi dan
konfirmasi, memperkuat apa-apa yang telah diketahui akal dan menerangkan
apa-apa yang belum diketahui akal. Dan demikian menyempurnakan pengtahuan yang
telah diperoleh akal.
Bagi kaum Asy’ariyah akal hanya dapat
mengetahui adanya tuhan saja, wahyu mempunyai kedudukan yang sangat penting.
Manusia mengetahui yang baik dan yang buruk, dan mengetahui
kewajiban-kewajibannya hanya turunnya wahyu. Dengan demikian sekiranya wahyu
tidak ada, manusia tidak akan tahu kewajiban-kewajibannya kepada Tuhan,
sekiranya syariatnya tidak ada. Al-Ghozali berkata, manusia tidak akan ada
kewajiban mengenal tuhan dan tidak akan berkewajiban berterima kasih kepadanya
atas nikmat-nikmat yang diturunkannya. Demikian juga masalah baik dan buruk
kewajiban berbuat baik dan menghindari perbuatan buruk, diketahui dari perintah
dan larangan-larangan Tuhan. Al-Baghdadi berkata, semuanya itu hanya bisa
diketahui menurut wahyu, sekiranya tidak ada wahyu, tak ada kewajiban dan
larangan terhadap manusia.
Jelas bahwa dalam aliran Asy’ariyah
wahyu mempunyai fungsi yang banyak sekali, wahyu yang menentukan segala hal,
sekiranya wahyu tak ada manusia akan bebas berbuat apa saja yang
dikehendakinya, dan sebagai akibatnya manusia akan berada dalam kekacauan.
Wahyu perlu untuk mengatur masyarakat, dan demikianlah pendapat kaum
Asy’ariyah. Al-Dawwani berkata salah satu fungsi wahyu adalah memberi tuntunan
kepada manusia untuk mengatur hidupnya di dunia. Oleh karena itu pengiriman
para rosul-rosul dalam teologi Asy’ariyah seharusnya suatu keharusan dan bukan
hanya hal yang boleh terjadi sebagaimana hal dijelaskan olh Imam Al-Ghozali di
dalam al-syahrastani.
Adapun aliran Maturidiyah bagi
cabang Samarkand mempunyai fungsi yang kurang wahyu tersebut, tetapi pada
aliran Maturidiyah Bukhara adalah penting, bagi Maturidiyah Samarkand perlu
hanya untuk mengetahui kewajiban tentang baik dan buruk, sedangkan bagi
Maturidiyah Bukhara wahyu perlu untuk mengetahui kewajiban-kewajiban manusia.[10] Oleh
Karena itu di dalam sistem teologi yang memberikan daya terbesar adalah akal
dan fungsi terkecil kepada wahyu, manusia dipandang mempunyai kekuasaan dan
kemerdekaan.tetapi di dalam system teologi lain yang memberikan daya terkecil
pada akal dan fungsi terbesar pada wahyu. Manusia dipandang lemah dan tak
merdeka.
Tegasnya manusia dalam pandangan
aliran Mu’tazilah adalah berkuasa dan merdeka sedangkan dalam aliran Asy’ariyah
manusia lemah dan jauh dari merdeka. Di dalam aliran maturidiyah manusia
mempunyai kedudukan menengah di antara manusia dalam pandangan aliran
Mu’tazilah, juga dalam pandangan Asy’ariyah. Dan dalam pandangan cabang
Samarkand, manusia lebih berkuasa dan merdeka dari pada manusia dalam pandangan
cabang Bukhara. Dalam teologi Maturidiyah Samarkand, yang juga memberikan
kedudukan yang tinggi pada akal, tetapi tidak begitu tinggi dibandingkan
pendapat Mu’tazilah, wahyu juga mempunyai fungsi relatif banyak tetapi tidak
sebanyak pada teologi Asy’ariyah dan maturidiyah Bukhara.
PENUTUP
Demikianlah akal dan wahyu yang saya
bahas dalam pandangan aliran Mu’tazilah, Asy’ariyah, Maturidiyah Samarkand
ataupun Maturidiyah Bukhara, mereka semua aliran mempunyai pendapat
masing-masing dalam memberikan pendapat tentang akal dan wahyu, dan apabila
banyak kesalahan dalam pembahasan sekiranya dapat dimaklumi dikarenakan
kapasitas kemampuan saya yang sangat terbatas pada kajian saya ini. Lalu saya
dapat menarik benang merah dari kajian ini yaitu :
1. Wahyu mempunyai kedudukan yang
sangat pnting dalam aliran Asy’ariyah dan mempunyai fungsi kecil pada aliran
mu’tazilah.
2. Mu’tazilah adalah paham yang
beraliran rasional artinya lebih menguatkan pendapat akal dibandingkan wahyu.
3. Asy’ariyah
menjadikan wahyu mempunyai kedudukan penting dalam alirannya dibanding akal.
4. Maturidiyah Bukhara bahwa wahyu dan
akal saling berdampingan dan saling menguatkan dengan kata lain kedudukan wahyu
dan akal adalah seimbang.
5. Maturidiyah Samarkand bahwa akal
lebih tinggi dibanding kedudukan wahyu dengan kata lain sama dengan pendapat
aliran Mu’tazilah tentang kedudukan wahyu dan akal.
DAFTAR PUSTAKA
Yunan Yusuf, M, Alam Pemikiran
Islam Pemikiran Kalam, Jakarta; Perkasa Jakarta 1990.
Rozak, Abdul, Dkk, Ilmu Kalam,
Bandung; CV. Pustaka, 2003.
Nasution, Harun, Teologi Islam
Dan Aliran Analisa Perbandingan, Jakarta; Universitas Indonesia, (UI-Press)
1986.
Al-Majid. Al-Najjar. Pemahaman
Islam, PT. Remaja Rodsakarya, Bandung; 1997.
Nasution, Harun, Muhammad Abduh
dan Teologi Rasional Mu’tazilah, Jakarta; Penerbit Universitas Indonesia
(UI-Press), 1987.
Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga . Tauhid .
Yogyakarta.
Nasution, Harun, Akal dan Wahyu,
Jakarta; Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press), 1991.
[1] Harun Nasution ., Akal dan Wahyu, (Jakarta:UI-Pres),
hal. 5.
[2] Toshihiko Izutzu, Litt. D., God and Man in
the Quran, Tokio, Keio University, 1964, hal. 65.
[3] Perbandingan: M.A.A. Zarqawi, مناهل العرفان في علوم الفران , Cairo, Isa Al-Babi Al-Halabi, t.t., jil.
I, hal.56.
[4] Harun Nasution ., Akal dan Wahyu,
(Jakarta:UI-Pres), hal. 15.
[5] DR.ABD Al-Majid Al-Najjar, Pemahaman Islam,
hal. 19
[6]
Harun Nasution., Teologi Mu’tazilah dan Muhammad Abduh. Hal. 44.
[7] Ibid.,
hal. 44.
[8] Ibid.,
hal. 44
[9] Ibid.,
hal. 65.
[10]
Harun Nasution., Teologi Islam
Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan. Hal. 101.
0 komentar:
Posting Komentar