Rabu, 22 Mei 2013 | By: Unknown

Hubungan Akal dan Wahyu


PENDAHULUAN

            Di dalam ajaran agama yang telah diwahyukan ada dua jalan untuk memperoleh pengetahuan, pertama, jalan wahyu dalam arti komunikasi dari Tuhan kepada manusia, dan kedua jalan akal, yang dianugerahkan Tuhan kepada manusia, dengan memakai kesan-kesan yang diperoleh pancaindera sebagai bahan pemikiran untuk sampai kepada kesimpulan-kesimpulan. Pengetahuan yang dibawa wahyu diyakini bersifat absolut dan mutlak benar, sedang pengetahuan yang diperoleh melalui akal bersifat relatif, mungkin benar dan mungkin salah. Di zaman kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern timbul pula akhir-akhir ini pertanyaan :
pengetahuan mana yang lebih dapat dipercaya, pengetahuan melalui akal atau pengetahuan melalui wahyu?
            Dengan masuknya rasionalisme dan ilmu pengetahuan Barat ke dunia islam, masalah akal dan wahyu ini menjadi hangat kembali. Dan menurut D.C. Mulder akan lebih hebat lagi di masa depan, jika kelak pertemuan-pertemuan kebudayaan Barat dan umat islam tidak lagi hanya terbatas hanya pada golomgan atas tetapi juga memasuki masyarakat umum. Dan diketika itu bukan hanya perseorangan-perseorangan yang akan sibuk dengan masalah akal dan wahyu itu, tetapi juga golongan besar kaum ulama tidak akan dapat melaskan diri dari pembahasannya.
            Masalah akal dan wahyu pada abad kedua puluh satu sekarang memang sudah banyak dibicarakan kembali dan menjadi bahan pembahasan yang tetap menarik dan segar untuk dibicarakan.

PEMBAHASAN
A. Pengertian
Kata akal yang sudah menjadi kata Indonesia, berasal dari kata Arab al-‘aql (العقل), yang dalam bentuk kata benda, berlainan dengan kata al-wahy (الوحى), tidak terdapat dalam Al-Qur’an. Al-Qur’an hanya membawa bentuk kata kerjanya ‘aqaluh (عقلوه) dalam 1 ayat, ta’qilun (تعقلون) 24 ayat, na’qil (نعقل) 1 ayat, ya’qiluha (يعقلها) 1 ayat dan ya’qilun (يعقلون) 22 ayat. Kata-kata itu datang dalam arti faham dan mengerti. Kalau kita lihat kamus-kamus Arab, akan kita jumpai kata ‘aqala  berarti mengikat dan menahan. Maka tali pengikat serban, terkadang berwarna hitam dan terkadang berwarna emas, yang dipakai di Arab Saudi dll, disebut ‘iqal (عقال); dan menahan orang di dalam penjara disebut i’taqala (اعتقل) dan tempat tahanan mu’taqal (معتقل).[1]
Dalam pemahaman Profesor Izutzu, kata ‘aqla di zaman jahiliyah dipakai dalam arti kecerdasan praktis (practical intelligene) yang dalam istilah psikologi modern disebut kecakapan memecahkan masalah (problem-solving capacity). Orang berakal, menurut pendapatnya adalah, orang yang mempunyai kecakapan untuk menyelesaikan masalah, setiap kali ia dihadapkan dengan problema dan selanjutnya dapat melepaskan diri dari bahaya yang ia hadapi. Kebikjasanaan praktis serupa ini amat dihargai oleh orang Arab zaman jahiliyah.[2]
Wahyu berasal dari kata Arab al-wahy (الوحي), dan al-wahy adalah kata asli Arab dan bukan kata pinjaman dari bahasa asing. Kata itu berarti suara, api dan kecepatan. Di samping itu ia juga mengandung arti bisikan, isyarat, tulisan dan kitab. Al-wahy selanjutnya mengandung arti pemberitahuan secara tersembunyi dan dengan cepat. Tetapi kata itu lebih dikenal dalam arti “apa yang disampaikan Tuhan kepada nabi-nabi”. Dalam kata wahyu dengan demikian terkandung arti penyampaian sabda Tuhan kepada orang pilihanNya agar diteruskan kepada umat manusia untuk dijadikaan pegangan hidup. Sabda Tuhan itu mengandung ajaran, petunjuk dan pedoman yng diperlukan umat manusia dalam perjalanan hidupnya baik di dunia ini maupan di akhirat nanti.[3] Dalam Islam wahyu atau sabda Tuhan yang disampaikan kepada Nabi Muhaammad s.a.w terkumpul semuanya dalam Al-Qur’an.[4]
B. Karakteristik Wahyu[5]
1. Wahyu baik berupa Al-qur’an dan Hadits bersumber dari tuhan, pribadi nabi Muhammad yang menyampaikan wahyu ini, memainkan peranan yang sangat penting dalam turunnya wahyu.
2. Wahyu merupakan perintah yang berlaku umum atas seluruh umat manusia, tanpa mengenal ruang dan waktu, baik perintah itu disampaikan dalam bentuk umum atau khusus.
3. Wahyu itu adalah nash-nash yang berupa bahasa arab dengan gaya ungkap dan gaya bahasa yang berlaku.
4. Apa yang dibawa oleh wahyu tidak ada yang bertentangan dengan akal, bahkan ia sejalan dengan prinsip-prinsip akal.
5. Wahyu itu merupakan satu kesatuan yang lengkap, tidak terpisah-pisah.
6. Wahyu itu menegakkan hukum menurut kategori perbuatan manusia, baik perintah maupun larangan.
7. Sesungguhnya wahyu yang berupa Al-Qur’an dan As-Sunnah turun secara berangsur-angsur dalam rentang waktu yang cukup panjang.
C. Pentingnya Akal[6]
1. Akal menurut pendapat Muhammad Abduh adalah suatu daya yang hanya dimiliki manusia dan oleh karena itu Dialah yang memperbedakan manusia dari mahluk lain.
2. Akal adalah tonggak kehidupan manusia yang mendasar terhadap kelanjutan wujudnya, peningkatan daya akal merupakan salah satu dasar dan sumber kehidupan dan kebahagiaan bangsa-bangsa.
3. Akal adalah jalan untuk memperoleh iman sejati, iman tidaklah sempurna kalau tidak didasarkan akal. Iman harus berdasar pada keyakinan, bukan pada pendapat dan akallah yang menjadi sumber keyakinan pada Tuhan.
D.  Kekuatan Akal[7]
1. Mengetahui Tuhan dan sifat-sifatnya.
2. Mengetahui adanya hidup akhirat.
3. Mengetahui bahwa kebahagian jiwa di akhirat bergantung pada mengenal Tuhan dan berbuat baik, sedang kesengsaran tergantung pada tidak mengenal Tuhan dan pada perbuatan jahat.
4. Mengetahui wajibnya manusia mengenal Tuhan.
5. Mengetahui wajibnya manusia berbuat baik dan wajibnya ia menjauhi perbuatan jahat untuk kebahagiannya di akhirat.
6. Membuat hukum-hukum mengenai kewajiban-kewajiban itu.
E. Kekuatan wahyu[8]
1. Wahyu lebih condong melalui dua mukjizat yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah.
2. Membuat suatu keyakinan pada diri manusia.
3. Untuk memberi keyakinan yang penuh pada hati tentang adanya alam ghaib.
4. Wahyu turun melalui para ucapan nabi-nabi.
F. Fungsi Wahyu[9]
Wahyu berfungsi memberi informasi bagi manusia. Bagi aliran kalam tradisional, akal manusia sudah mengetahui empat hal, maka wahyu ini berfungsi memberi konfirmasi tentang apa yang telah dijelaskan oleh akal manusia sebelumnya. Tetapi baik dari aliran Mu’tazilah maupun dari aliran Samarkand tidak berhenti sampai di situ pendapat mereka, mereka menjelaskan bahwa betul akal sampai pada pengetahuan tentang kewajiban berterima kasih kepada tuhan serta mengerjakan kewajiban yang baik dan menghindarkan dari perbuatan yang buruk, namun tidaklah wahyu dalam pandangan mereka tidak perlu. Menurut Mu’tazilah dan Maturidiyah Samarkand wahyu tetaplah perlu.
Selanjutnya, wahyu bagi kaum mu’tazilah mempunyai fungsi memberi penjelasan tentang perincian hukuman dan upah yang akan diterima manusia di akhirat. Abu Jabbar berkata akal tak dapat mengetahui bahwa upah untuk suatu perbuatan baik lebih besar dari pada upah yang ditentukan untuk suatu perbuatan baik lain, demikian pula akal tak mengetahui bahwa hkuman untuk suatu perbuatan buruk lebih besar dari hukuman untuk suatu perbuatan buruk yang lain. Semua itu hanya dapat diketahui dengan perantaraan wahyu. Al-Jubbai berkata wahyulah yang menjelaskan perincian hukuman dan upah yang akan diperoleh manusia di akhirat.
Dari uraian di atas dapatlah kiranya disimpulkan bahwa, wahyu bagi Mu’tazilah mempunyai fungsi untuk informasi dan konfirmasi, memperkuat apa-apa yang telah diketahui akal dan menerangkan apa-apa yang belum diketahui akal. Dan demikian menyempurnakan pengtahuan yang telah diperoleh akal.
Bagi kaum Asy’ariyah akal hanya dapat mengetahui adanya tuhan saja, wahyu mempunyai kedudukan yang sangat penting. Manusia mengetahui yang baik dan yang buruk, dan mengetahui kewajiban-kewajibannya hanya turunnya wahyu. Dengan demikian sekiranya wahyu tidak ada, manusia tidak akan tahu kewajiban-kewajibannya kepada Tuhan, sekiranya syariatnya tidak ada. Al-Ghozali berkata, manusia tidak akan ada kewajiban mengenal tuhan dan tidak akan berkewajiban berterima kasih kepadanya atas nikmat-nikmat yang diturunkannya. Demikian juga masalah baik dan buruk kewajiban berbuat baik dan menghindari perbuatan buruk, diketahui dari perintah dan larangan-larangan Tuhan. Al-Baghdadi berkata, semuanya itu hanya bisa diketahui menurut wahyu, sekiranya tidak ada wahyu, tak ada kewajiban dan larangan terhadap manusia.
Jelas bahwa dalam aliran Asy’ariyah wahyu mempunyai fungsi yang banyak sekali, wahyu yang menentukan segala hal, sekiranya wahyu tak ada manusia akan bebas berbuat apa saja yang dikehendakinya, dan sebagai akibatnya manusia akan berada dalam kekacauan. Wahyu perlu untuk mengatur masyarakat, dan demikianlah pendapat kaum Asy’ariyah. Al-Dawwani berkata salah satu fungsi wahyu adalah memberi tuntunan kepada manusia untuk mengatur hidupnya di dunia. Oleh karena itu pengiriman para rosul-rosul dalam teologi Asy’ariyah seharusnya suatu keharusan dan bukan hanya hal yang boleh terjadi sebagaimana hal dijelaskan olh Imam Al-Ghozali di dalam al-syahrastani.
Adapun aliran Maturidiyah bagi cabang Samarkand mempunyai fungsi yang kurang wahyu tersebut, tetapi pada aliran Maturidiyah Bukhara adalah penting, bagi Maturidiyah Samarkand perlu hanya untuk mengetahui kewajiban tentang baik dan buruk, sedangkan bagi Maturidiyah Bukhara wahyu perlu untuk mengetahui kewajiban-kewajiban manusia.[10] Oleh Karena itu di dalam sistem teologi yang memberikan daya terbesar adalah akal dan fungsi terkecil kepada wahyu, manusia dipandang mempunyai kekuasaan dan kemerdekaan.tetapi di dalam system teologi lain yang memberikan daya terkecil pada akal dan fungsi terbesar pada wahyu. Manusia dipandang lemah dan tak merdeka.
Tegasnya manusia dalam pandangan aliran Mu’tazilah adalah berkuasa dan merdeka sedangkan dalam aliran Asy’ariyah manusia lemah dan jauh dari merdeka. Di dalam aliran maturidiyah manusia mempunyai kedudukan menengah di antara manusia dalam pandangan aliran Mu’tazilah, juga dalam pandangan Asy’ariyah. Dan dalam pandangan cabang Samarkand, manusia lebih berkuasa dan merdeka dari pada manusia dalam pandangan cabang Bukhara. Dalam teologi Maturidiyah Samarkand, yang juga memberikan kedudukan yang tinggi pada akal, tetapi tidak begitu tinggi dibandingkan pendapat Mu’tazilah, wahyu juga mempunyai fungsi relatif banyak tetapi tidak sebanyak pada teologi Asy’ariyah dan maturidiyah Bukhara.

PENUTUP
Demikianlah akal dan wahyu yang saya bahas dalam pandangan aliran Mu’tazilah, Asy’ariyah, Maturidiyah Samarkand ataupun Maturidiyah Bukhara, mereka semua aliran mempunyai pendapat masing-masing dalam memberikan pendapat tentang akal dan wahyu, dan apabila banyak kesalahan dalam pembahasan sekiranya dapat dimaklumi dikarenakan kapasitas kemampuan saya yang sangat terbatas pada kajian saya ini. Lalu saya dapat menarik benang merah dari kajian ini yaitu :
1. Wahyu mempunyai kedudukan yang sangat pnting dalam aliran Asy’ariyah dan mempunyai fungsi kecil pada aliran mu’tazilah.
2. Mu’tazilah adalah paham yang beraliran rasional artinya lebih menguatkan pendapat akal dibandingkan wahyu.
3. Asy’ariyah menjadikan wahyu mempunyai kedudukan penting dalam alirannya dibanding akal.
4. Maturidiyah Bukhara bahwa wahyu dan akal saling berdampingan dan saling menguatkan dengan kata lain kedudukan wahyu dan akal adalah seimbang.
5. Maturidiyah Samarkand bahwa akal lebih tinggi dibanding kedudukan wahyu dengan kata lain sama dengan pendapat aliran Mu’tazilah tentang kedudukan wahyu dan akal.

DAFTAR PUSTAKA
Yunan Yusuf, M, Alam Pemikiran Islam Pemikiran Kalam, Jakarta; Perkasa Jakarta 1990.
Rozak, Abdul, Dkk, Ilmu Kalam, Bandung; CV. Pustaka, 2003.
Nasution, Harun, Teologi Islam Dan Aliran Analisa Perbandingan, Jakarta; Universitas Indonesia, (UI-Press) 1986.
Al-Majid. Al-Najjar. Pemahaman Islam, PT. Remaja Rodsakarya, Bandung; 1997.
Nasution, Harun, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah, Jakarta; Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press), 1987.
Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga . Tauhid . Yogyakarta.
Nasution, Harun, Akal dan Wahyu, Jakarta; Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press), 1991.






[1]  Harun Nasution ., Akal dan Wahyu, (Jakarta:UI-Pres), hal. 5.
[2]  Toshihiko Izutzu, Litt. D., God and Man in the Quran, Tokio, Keio University, 1964, hal. 65.
[3]  Perbandingan:         M.A.A. Zarqawi,        مناهل العرفان في علوم الفران     , Cairo, Isa Al-Babi Al-Halabi, t.t., jil. I, hal.56.
[4]  Harun Nasution ., Akal dan Wahyu, (Jakarta:UI-Pres), hal. 15.
[5]  DR.ABD Al-Majid Al-Najjar, Pemahaman Islam, hal. 19
[6] Harun Nasution., Teologi Mu’tazilah dan Muhammad Abduh. Hal. 44.
[7] Ibid., hal. 44.
[8] Ibid., hal. 44
[9] Ibid., hal. 65.
[10] Harun Nasution., Teologi Islam  Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan. Hal. 101.

0 komentar:

Posting Komentar