Sabtu, 25 Mei 2013 | By: Unknown

Perkawinan Wanita Hamil


A. Problem

Perlu diketahui bahwasanya salah satu tujuan yang hendak dicapai oleh agama Islam dengan mensyariatkan perkawinan adalah untuk menciptakan sebuah keluarga yang sakinah mawadah dan rahmah atau keluarga yang kekal sekaligus bisa melahirkan generasi sebagai pelanjut keturunan yang jelas bapaknya dengan perkawinan ibunya dalam hal ini adalah perkawinan yang sah menurut hukum. Dengan demikian jelas pulalah yang betanggung jawab terhadap itu menjaga, membesarkan, mendidik sehingga ia menjadi seorang anak yang saleh dan berbakti kepada orang tua. Oleh karena itulah syari’at Islam melarag segala bentuk perbuatan yang menyebabkan tidak jelasnya bapak seorang anak seperti perbuatan zina, pergaulan bebas dan segala perbuatan yang mengarah kepada perbuatan tersebut.
Lantas bagaimana tentang pernikahan seorang wanita yang tengah hamil diluar nikah sendiri yang sudah jelas-jelas kita ketahui sebagai perbuatan zina baik oleh pria yang menghamilinya maupun wanita yang hamil. Dan itu merupakan dosa besar. Persoalannya adalah bolehkah menikahkan wanita yang hamil karena zina?. Para ulama’ berbeda pendapat dalam masalah ini, ada yang secara ketat tidak memperbolehkan , ada pula yang menekankan pada penyelesaian masalah tanpa mengurangi kehati-hatian mereka. Sejalan dengan sikap para ulama’ itu, ketentuan hukum Islam menjaga batas-batas pergaulan masyarakat yang sopan dan memberikan ketenangan dan rasa aman. Patuh terhadap ketentuan hukum Islam, insya Allah akan mewujudkan kemaslahatan dalam masyarakat.
Persoalan menikahkan wanita hamil apabila dilihat dari KHI, penyelesainnya jelas dan sederhana cukup dengan satu pasal dan tiga ayat. Yang menikahi wanita hamil adalah pria yang menghamilinya, hal ini termasuk penangkalan terhadap terjadinya pergaulan bebas, juga dalam pertunangan. Asas pembolehan pernikahan wanita hamil ini dimaksudkan untuk memberi perlindungan hukum kepada anak yang ada dalam kandungan, dan logikanya untuk mengakhirinstatus anak zina.
Maka bagaimana pendapat para imam madzhab (Hanafi, Syafi’i, Maliki, dan Hambali) mengenai masalah ini?.

B. Pendapat para Imam Mahzab
1. Imam Hanafi
            Wanita hamil akibat zina boleh melangsungkan perkawinan dengan yang menghamilinya atau dengan laki-laki lain. Menurut Imam Hanafi:
اما الحبلي من زنا فا نها لا عدة عليها. بل يخوز العقد عليها ولكن لا يحل وطءها حتي تضع الحمل
“Wanita hamil karena zina itu tidak ada iddahnya, bahkan boleh mengawininya, tetapi tidak boleh melakukan hubungan seks hingga dia melahirkan kandungannya”
            Menurut Abu Hanifah dan muridnya Muhammad berpendapat bahwa mengawini wanita/perempuan hamil karena zina hukumnya boleh; namun si suami tidak boleh menggauli istrinya itu sampai ia melahirkan. Dasar kebolehannya adalah karena tidak ada dalil yang menyatakan keharamannya, sebagaimana dipahami surat An-Nisa’ ayat 24, yang setelah menjelaskan siapa-siapa saja yang tidak boleh dikawini, akhirnya yang dilanjutkan dengan firman-Nya; “Dan dihalalkan oleh kamu sekalian selain daripada itu”
            Sedangkan dasar tidak bolehnya menggauli perempuan tersebut waktu hamil adalah supaya tidak menumpah air (sperma) di tanaman (rahim) orang lain yang dilarang berdasarkan hadits Nabi.[1] Dilarangnya wanita hamil melakukan hubungan seksual dengan laki-laki yang mengawininya/si suami, berarti kehamilannya mempengaruhi terhadap kelangsungan kehidupan rumah tangganya, sebagaimana layaknya orang yang kawin.

2. Imam Syafi’i
            Menurut Imam Syafi’i:
اما وطء الزنا فا نه لا عدة فيه. ويحل التزويج با لحا مل من زنا ووطءها وهى حا مل على الاصح[2]
“Hubungan seks karena zina itu tidak ada iddahnya, wanita yang hamil karena zina itu boleh dikawini, dan boleh melakukan seks sekalipun dalam keadaan hamil”
            Menurut Imam Syafi’i perkawinan wanita hamil itu dapat dilangsungkan, dapat pula dilakukan persetubuhan dengannya . Ini didasarkan kepada sabda Nabi Muhammad SAW:
لها الصداق بها استحللت من فرجها والوالد عبدلك[3]
“. . . . Bagi dia maskawinnya, karena kamu telah meminta kehalalannya untuk mengumpulinya sedang anak itu hamba bagimu. . . .”
Imam Syafi’i seperti yang terdapat dalam kitab Mugni al Muhtaj berpendapat bahwa menikahi wanita hamil karena zina hukumnya boleh dan boleh pula menyetubuhinya pada masa hamil itu. Alasannya. Karena perbuatan zina itu tidak menimbulkan hukum haram terhadap yang lain. Kehamilan yang tidak diketahui nasabnya itu ditangguhkan pada perbuatan zina yang mendahuluinya, bila anak yang lahir dapat dinasabkan kepada laki-laki kyang menyebabkannya lahir. Anak yang dikandung karena zina tidak dapat dinasabkan kepada laki-laki yang menyetubuhi ibunya; oleh karena itu tidak berlaku iddah atas perempuan hamil tersebut. Dengan demikian perempuan hamil karena zina boleh dikawini.
Menurut kedua Imam di atas, wanita zina itu tidak di kenakan ketentuan-ketentuan hukum perkawinan sebagaimana yang ditetapkan dalam nikah. Karena iddah itu hanya ditentukan untuk menghargai sperma yang ada dalam kandungan isteri dalam perkawinan yang sah. Sperma hasil dari hubungan seks di luar nikah tidak ditetapkan oleh hukum. Mereka beralasan dengan Al-Qur’an pada surah An-Nur ayat 3:
ÎT#¨9$# Ÿw ßxÅ3Ztƒ žwÎ) ºpuŠÏR#y ÷rr& Zpx.ÎŽô³ãB èpuÏR#¨9$#ur Ÿw !$ygßsÅ3Ztƒ žwÎ) Ab#y ÷rr& Ô8ÎŽô³ãB 4 tPÌhãmur y7Ï9ºsŒ n?tã tûüÏZÏB÷sßJø9$# ÇÌÈ  
3. Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas oran-orang yang mukmin[4]

3. Imam Malik
            Imam Malik mengatakan tidak boleh melangsungkan perkawinan antara wanita hamil karena zina dengan laki-laki lain sampai dia melahirkan kandungannya.
Menurut Imam Malik sebagaimana terdapat dalam kitab Mazahib al Arba’ah berpendapat tidak boleh mengawini perempuan hamil karena zina dan nikah seperti itu adalah batal. Alasannya adalah bahwa perempuan tersebut harus menjalani masa iddah, namun tidak dengan melahirkan tiga kali suci sesudah melahirkan dinasabkan kepada ayahnya sedangkan anak zina tidak dinasabkan kepada laki-laki yang menyebabkan dia hamil.

4. Imam Ahmad bin Hanbal
            Ahmad bin Hanbal sebagaimana terdapat dalam kitab Al Mughni berpendapat bahwa perempuan yang hamil karena zina harus menjalani masa iddah yaitu melahirkan anak. Oleh karena itu, tidak boleh dinikahi sebelum anaknya lahir. Alasan yang di kemukakan oleh Ahmad dan pengikutnya adalah larangan nabi “menumpahkan air ditanaman orang lain” dan “larangan menyetubuhi wanita yang hamil sampai ia melahirkan anaknya”.
 Untuk mendukung pendapatnya, mereka (Imam Malik dan Imam Ahmad bin Hanbal) mengemukakan alasan dengan sabda Nabi Muhammad SAW :
لا يحل لامرئ يؤمن باالله واليوم الاخر ان يسقى ماءه زرع غيره يعنى انبان الحبالى. ولايحل لامرئ يؤمن بالله واليوم الاخر ان يقع على امراة من السى حتى يستبرئها[5]
Tidak halal bagi seorang yang beriman kepada Allah dan hari akhirat menyiramkan airnya (sperma) kepada tanaman orang lain, yakni wanita-wanita tawanan yang hamil, tidak halal bagi seorang yang beriman kepada Allah dan hari akhirat mengumpuli wanita tawanan perang sampai menghabiskan istibra’nya (iddah) satu kali haid”.
Mereka juga beralasan dengan sabda Nabi Muhammad SAW :
لا توطء حامل حتى تضع ولاغير ذات حمل حتى تحيض حيضة[6]
“Jangan kamu menggauli wanita hamil sampai dia melahirkan dan wanita yang tidak hamil sampai haid satu kali”.
Imam Malik dan Imam Ahmad bin Hanbal mengambil kesimpulan dari kedua hadis tersebut, bahwa wanita hamil tidak boleh dikawini, karena dia perlu iddah. Mereka memberlakukan secara umum, termasuk wanita hamil dari perkawinan yang sah, juga wanita hamil dari akibat perbuatan zina. Adanya penentuan larangan perkawinan wanita hamil tersebut berawal dari pendapat mereka yaitu, wanita hamil karena zina tetap memiliki iddah, maka wanita hamil tidak boleh melangsungkan perkawinan sampai dia melahirkan kandungannya. Dengan demkian wanita hamil dilarang melangsungkan perkawinan. Bahkan menurut Imam Ahmad bin Hanbal, wanita hamil karena zina harus bertaubat, baru dapat melangsungkan perkawinan dengan laki-laki yang mengawininya.
Dengan hadist tersebut, mereka berkesimpulan bahwa wanita hamil dilarang melangsungkan perkawinan, karena dia perlu beriddah sampai melahirkan kandungannnya. Pendapat mereka ini dapat dimengerti agar menghindari adanya percampuran keturunan, yaitu keturunan yang punya bibit dan keturunan yang mengawini ibunya. Oleh karena itu Imam Malik dan Ahmad bin Hanbal memberlakukan iddah secara umum terhadap wanita hamil, apakah hamilnya itu karena perkawinan yang sah, ataukah kehamilannya itu akibat dari hubungan seksual diluar nikah. Dengan demikian, perkawinan wanita hamil dilarang.
Dalam Inpres No.1 Tahun 1991 tentang penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam (KHI), Bab VIII Kawin Hamil sama dengan persoalan menikahkan wanita hamil. Pasal 53 dari BAB tersebut berisi tiga (3) ayat, yaitu :[7]
1.      Seorang wanita hamil di luar nikah, dapat dinikahkan dengan pria yang    menghamilinya.
2.      Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat (1) dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih dulu kelahiran anaknya.
3.      Dengan dilangsungkan perkawinan pada saat wanita hamil, tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir.

C. Kesimpulan
            Dengan demikian masalah mengawini perempuan hamil termasuk masalah khilafiyah, ada ulama’ yang membolehkannya dan ada pula di antara ulama’ yang tidak membolehkannnya. Perempuan yang hamil lantaran perzinaan boleh dikawin oleh lelaki yang berzina dengannya sebab kehamilannya itu dianggap tidak sah.
            Setelah kita membahas mengenai masalah mengawini wanita hamil yang dizinai dapat disimpulkan :
1.      Wanita hamil yang berasal dari zina boleh dikawini dengan laki-laki yang dizinainya.
2.      Sifat kebolehan mengawini wanita hamil yang dizinainya adalah makruh.
3.      Karena laki-laki dan wanita tersebut telah melakukan dosa, maka sebelum mereka melangsungkan perkawinannya lebih diutamakan sebagai syarat kesempurnaannya untuk bertobat lebih dahulu.
4.      Al-Qur’an dan Al-Hadis telah memberi petunjuk dengan jelas terhadap wanita yang tidak boleh dikawini.
Sebagai akhir dari penjelasan ini adalah pembolehan Jumhur ulama’ berdasar pada hadis ‘Aisyah dari Ath-Thobary dan Ad-Daruquthny, sesungguhnya Rosululllah SAW ditanya tentang seorang lak-laki yang berzina dengan seorang perempuan dan ia mau mengawininya. Beliau berkata:” Awalnya zina akhirnya nikah, dan yang haram itu tidak mengharamkan yang halal. “Sahabat yang membolehkan nikah wanita berzina adalah Abu Bakar, Umar, Ibnu Abbas yang disebut madzab Jumhur.

D. Referensi
Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam. 2008. Penerbit: Citra Media Wacana.
Asfuri. Mengawini Wanita Hamil Yang Dizinainya Menurut Hukum Islam. 1986. Jakarta: Proyek Pembinaan Kemahasiswaan Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama RI.
Al-Qur’an dan terjemahannya .2002. Surabaya : Departemen Agama Republik Indonesia.







[1] Syarh Fat al-Qadir jilid III; 241-242
[2] Ibid, hal, 543
[3] Ibid, hal, 232
[4] Departemen Agama Republik indonesia. Al-Qur’an dan terjemahannya. (Mekar Surabaya, 2002)
[5] Abu Daud, Op. Gt. Hal.331
[6] Ibid, hal. 283.
[7] Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam . Penerbit: Citra Madia Wacana. 2008. Cetakan Pertama. Hal 443.

0 komentar:

Posting Komentar