A.
Problem
Perlu diketahui bahwasanya salah satu tujuan
yang hendak dicapai oleh agama Islam dengan mensyariatkan perkawinan adalah
untuk menciptakan sebuah keluarga yang sakinah mawadah dan rahmah atau keluarga
yang kekal sekaligus bisa melahirkan generasi sebagai pelanjut keturunan yang
jelas bapaknya dengan perkawinan ibunya dalam hal ini adalah perkawinan yang
sah menurut hukum. Dengan demikian jelas pulalah yang betanggung jawab terhadap
itu menjaga, membesarkan, mendidik sehingga ia menjadi seorang anak yang saleh
dan berbakti kepada orang tua. Oleh karena itulah syari’at Islam melarag segala
bentuk perbuatan yang menyebabkan tidak jelasnya bapak seorang anak seperti
perbuatan zina, pergaulan bebas dan segala perbuatan yang mengarah kepada
perbuatan tersebut.
Lantas bagaimana tentang pernikahan seorang
wanita yang tengah hamil diluar nikah sendiri yang sudah jelas-jelas kita
ketahui sebagai perbuatan zina baik oleh pria yang menghamilinya maupun wanita
yang hamil. Dan itu merupakan dosa besar. Persoalannya adalah bolehkah
menikahkan wanita yang hamil karena zina?. Para ulama’ berbeda pendapat
dalam masalah ini, ada yang secara ketat tidak memperbolehkan , ada pula yang
menekankan pada penyelesaian masalah tanpa mengurangi kehati-hatian mereka.
Sejalan dengan sikap para ulama’ itu, ketentuan hukum Islam menjaga batas-batas
pergaulan masyarakat yang sopan dan memberikan ketenangan dan rasa aman. Patuh
terhadap ketentuan hukum Islam, insya Allah akan mewujudkan kemaslahatan dalam
masyarakat.
Persoalan menikahkan wanita hamil apabila
dilihat dari KHI, penyelesainnya jelas dan sederhana cukup dengan satu pasal
dan tiga ayat. Yang menikahi wanita hamil adalah pria yang menghamilinya, hal
ini termasuk penangkalan terhadap terjadinya pergaulan bebas, juga dalam
pertunangan. Asas pembolehan pernikahan wanita hamil ini dimaksudkan untuk
memberi perlindungan hukum kepada anak yang ada dalam kandungan, dan logikanya
untuk mengakhirinstatus anak zina.
Maka bagaimana pendapat para imam madzhab
(Hanafi, Syafi’i, Maliki, dan Hambali) mengenai masalah ini?.
B. Pendapat para Imam Mahzab
1. Imam Hanafi
Wanita
hamil akibat zina boleh melangsungkan perkawinan dengan yang menghamilinya atau
dengan laki-laki lain. Menurut Imam Hanafi:
اما
الحبلي من زنا فا نها لا عدة عليها. بل يخوز العقد عليها ولكن لا يحل وطءها حتي
تضع الحمل
“Wanita hamil karena zina itu tidak ada iddahnya, bahkan boleh
mengawininya, tetapi tidak boleh melakukan hubungan seks hingga dia melahirkan
kandungannya”
Menurut
Abu Hanifah dan muridnya Muhammad berpendapat bahwa mengawini wanita/perempuan
hamil karena zina hukumnya boleh; namun si suami tidak boleh menggauli istrinya
itu sampai ia melahirkan. Dasar kebolehannya adalah karena tidak ada dalil yang
menyatakan keharamannya, sebagaimana dipahami surat An-Nisa’ ayat 24, yang
setelah menjelaskan siapa-siapa saja yang tidak boleh dikawini, akhirnya yang
dilanjutkan dengan firman-Nya; “Dan dihalalkan oleh kamu sekalian selain
daripada itu”
Sedangkan
dasar tidak bolehnya menggauli perempuan tersebut waktu hamil adalah supaya
tidak menumpah air (sperma) di tanaman (rahim) orang lain yang dilarang
berdasarkan hadits Nabi.[1]
Dilarangnya wanita hamil melakukan hubungan seksual dengan laki-laki yang
mengawininya/si suami, berarti kehamilannya mempengaruhi terhadap kelangsungan
kehidupan rumah tangganya, sebagaimana layaknya orang yang kawin.
2. Imam Syafi’i
Menurut
Imam Syafi’i:
اما وطء
الزنا فا نه لا عدة فيه. ويحل التزويج با لحا مل من زنا ووطءها وهى حا مل على
الاصح[2]
“Hubungan seks karena zina itu tidak ada
iddahnya, wanita yang hamil karena zina itu boleh dikawini, dan boleh melakukan
seks sekalipun dalam keadaan hamil”
Menurut
Imam Syafi’i perkawinan wanita hamil itu dapat dilangsungkan, dapat pula
dilakukan persetubuhan dengannya . Ini didasarkan kepada sabda Nabi Muhammad
SAW:
لها
الصداق بها استحللت من فرجها والوالد عبدلك[3]
“. . . . Bagi dia maskawinnya, karena kamu
telah meminta kehalalannya untuk mengumpulinya sedang anak itu hamba bagimu. .
. .”
Imam Syafi’i seperti yang terdapat dalam kitab Mugni
al Muhtaj berpendapat bahwa menikahi wanita hamil karena zina hukumnya
boleh dan boleh pula menyetubuhinya pada masa hamil itu. Alasannya. Karena
perbuatan zina itu tidak menimbulkan hukum haram terhadap yang lain. Kehamilan
yang tidak diketahui nasabnya itu ditangguhkan pada perbuatan zina yang
mendahuluinya, bila anak yang lahir dapat dinasabkan kepada laki-laki kyang
menyebabkannya lahir. Anak yang dikandung karena zina tidak dapat dinasabkan
kepada laki-laki yang menyetubuhi ibunya; oleh karena itu tidak berlaku iddah atas
perempuan hamil tersebut. Dengan demikian perempuan hamil karena zina boleh
dikawini.
Menurut kedua Imam di atas, wanita zina itu
tidak di kenakan ketentuan-ketentuan hukum perkawinan sebagaimana yang
ditetapkan dalam nikah. Karena iddah itu hanya ditentukan untuk menghargai
sperma yang ada dalam kandungan isteri dalam perkawinan yang sah. Sperma hasil
dari hubungan seks di luar nikah tidak ditetapkan oleh hukum. Mereka beralasan
dengan Al-Qur’an pada surah An-Nur ayat 3:
ÎT#¨9$# w ßxÅ3Zt wÎ) ºpuÏR#y ÷rr& Zpx.Îô³ãB èpuÏR#¨9$#ur w !$ygßsÅ3Zt wÎ) Ab#y ÷rr& Ô8Îô³ãB 4 tPÌhãmur y7Ï9ºs n?tã tûüÏZÏB÷sßJø9$# ÇÌÈ
3. Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan
yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak
dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang
demikian itu diharamkan atas oran-orang yang mukmin[4]
3. Imam Malik
Imam Malik mengatakan tidak boleh melangsungkan
perkawinan antara wanita hamil karena zina dengan laki-laki lain sampai dia
melahirkan kandungannya.
Menurut Imam Malik sebagaimana terdapat dalam
kitab Mazahib al Arba’ah berpendapat tidak boleh mengawini perempuan hamil
karena zina dan nikah seperti itu adalah batal. Alasannya adalah bahwa
perempuan tersebut harus menjalani masa iddah, namun tidak dengan melahirkan
tiga kali suci sesudah melahirkan dinasabkan kepada ayahnya sedangkan anak zina
tidak dinasabkan kepada laki-laki yang menyebabkan dia hamil.
4. Imam Ahmad bin Hanbal
Ahmad
bin Hanbal sebagaimana terdapat dalam kitab Al Mughni berpendapat bahwa
perempuan yang hamil karena zina harus menjalani masa iddah yaitu melahirkan
anak. Oleh karena itu, tidak boleh dinikahi sebelum anaknya lahir. Alasan yang
di kemukakan oleh Ahmad dan pengikutnya adalah larangan nabi “menumpahkan air
ditanaman orang lain” dan “larangan menyetubuhi wanita yang hamil sampai ia
melahirkan anaknya”.
Untuk
mendukung pendapatnya, mereka (Imam Malik dan Imam Ahmad bin Hanbal) mengemukakan
alasan dengan sabda Nabi Muhammad SAW :
لا يحل
لامرئ يؤمن باالله واليوم الاخر ان يسقى ماءه زرع غيره يعنى انبان الحبالى. ولايحل
لامرئ يؤمن بالله واليوم الاخر ان يقع على امراة من السى حتى يستبرئها[5]
“Tidak halal bagi seorang yang beriman
kepada Allah dan hari akhirat menyiramkan airnya (sperma) kepada tanaman orang
lain, yakni wanita-wanita tawanan yang hamil, tidak halal bagi seorang yang
beriman kepada Allah dan hari akhirat mengumpuli wanita tawanan perang sampai
menghabiskan istibra’nya (iddah) satu kali haid”.
Mereka juga beralasan dengan sabda Nabi
Muhammad SAW :
لا توطء
حامل حتى تضع ولاغير ذات حمل حتى تحيض حيضة[6]
“Jangan kamu menggauli wanita hamil sampai dia
melahirkan dan wanita yang tidak hamil sampai haid satu kali”.
Imam Malik dan Imam Ahmad bin Hanbal mengambil
kesimpulan dari kedua hadis tersebut, bahwa wanita hamil tidak boleh dikawini,
karena dia perlu iddah. Mereka memberlakukan secara umum, termasuk wanita hamil
dari perkawinan yang sah, juga wanita hamil dari akibat perbuatan zina. Adanya
penentuan larangan perkawinan wanita hamil tersebut berawal dari pendapat
mereka yaitu, wanita hamil karena zina tetap memiliki iddah, maka wanita hamil
tidak boleh melangsungkan perkawinan sampai dia melahirkan kandungannya. Dengan
demkian wanita hamil dilarang melangsungkan perkawinan. Bahkan menurut Imam
Ahmad bin Hanbal, wanita hamil karena zina harus bertaubat, baru dapat
melangsungkan perkawinan dengan laki-laki yang mengawininya.
Dengan hadist tersebut, mereka berkesimpulan
bahwa wanita hamil dilarang melangsungkan perkawinan, karena dia perlu beriddah
sampai melahirkan kandungannnya. Pendapat mereka ini dapat dimengerti agar
menghindari adanya percampuran keturunan, yaitu keturunan yang punya bibit dan
keturunan yang mengawini ibunya. Oleh karena itu Imam Malik dan Ahmad bin
Hanbal memberlakukan iddah secara umum terhadap wanita hamil, apakah hamilnya
itu karena perkawinan yang sah, ataukah kehamilannya itu akibat dari hubungan
seksual diluar nikah. Dengan demikian, perkawinan wanita hamil dilarang.
Dalam Inpres No.1 Tahun 1991 tentang
penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam (KHI), Bab VIII Kawin Hamil sama dengan
persoalan menikahkan wanita hamil. Pasal 53 dari BAB tersebut berisi tiga (3)
ayat, yaitu :[7]
1. Seorang
wanita hamil di luar nikah, dapat dinikahkan dengan pria yang menghamilinya.
2. Perkawinan
dengan wanita hamil yang disebut pada ayat (1) dapat dilangsungkan tanpa
menunggu lebih dulu kelahiran anaknya.
3. Dengan
dilangsungkan perkawinan pada saat wanita hamil, tidak diperlukan perkawinan
ulang setelah anak yang dikandung lahir.
C. Kesimpulan
Dengan demikian masalah mengawini perempuan
hamil termasuk masalah khilafiyah, ada ulama’ yang membolehkannya dan ada pula
di antara ulama’ yang tidak membolehkannnya. Perempuan yang hamil lantaran
perzinaan boleh dikawin oleh lelaki yang berzina dengannya sebab kehamilannya
itu dianggap tidak sah.
Setelah
kita membahas mengenai masalah mengawini wanita hamil yang dizinai dapat
disimpulkan :
1. Wanita
hamil yang berasal dari zina boleh dikawini dengan laki-laki yang dizinainya.
2. Sifat
kebolehan mengawini wanita hamil yang dizinainya adalah makruh.
3. Karena
laki-laki dan wanita tersebut telah melakukan dosa, maka sebelum mereka
melangsungkan perkawinannya lebih diutamakan sebagai syarat kesempurnaannya
untuk bertobat lebih dahulu.
4. Al-Qur’an
dan Al-Hadis telah memberi petunjuk dengan jelas terhadap wanita yang tidak
boleh dikawini.
Sebagai akhir dari penjelasan ini adalah
pembolehan Jumhur ulama’ berdasar pada hadis ‘Aisyah dari Ath-Thobary dan
Ad-Daruquthny, sesungguhnya Rosululllah SAW ditanya tentang seorang lak-laki
yang berzina dengan seorang perempuan dan ia mau mengawininya. Beliau berkata:”
Awalnya zina akhirnya nikah, dan yang haram itu tidak mengharamkan yang halal.
“Sahabat yang membolehkan nikah wanita berzina adalah Abu Bakar, Umar, Ibnu
Abbas yang disebut madzab Jumhur.
D. Referensi
Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam. 2008. Penerbit: Citra Media Wacana.
Asfuri. Mengawini Wanita Hamil Yang Dizinainya
Menurut Hukum Islam. 1986. Jakarta: Proyek Pembinaan Kemahasiswaan
Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama RI.
Al-Qur’an
dan terjemahannya .2002.
Surabaya : Departemen Agama Republik Indonesia.
[1] Syarh
Fat al-Qadir jilid III; 241-242
[2] Ibid,
hal, 543
[3] Ibid,
hal, 232
[4]
Departemen Agama Republik indonesia. Al-Qur’an dan terjemahannya. (Mekar
Surabaya, 2002)
[5] Abu
Daud, Op. Gt. Hal.331
[6] Ibid,
hal. 283.
[7]
Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam . Penerbit: Citra Madia Wacana. 2008.
Cetakan Pertama. Hal 443.
0 komentar:
Posting Komentar