PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Hadis merupakan sumber sunnah Nabi SAW yang menjadi
rujukan kedua dalam kajian hokum Islam setelah al-Qur’an al-Karim. Oleh karena
itu, kedudukan hadis sangat signifikan dan urgen dalam Islam. Hanya saja
urgensi dan signifikansi hadis tidak mempunyai makna, manakala eksistensinya
tidak didukung oleh uji kualifikasi histories yang memadai dalam proses
transmisinya (periwayatan).
Dengan demikian, sebelum hadis itu menjadi sunnah yang merypakan sumber
dan landasan suatu istinbat hokum, maka uji kualifikasi histories untuk
menentukan otentik tidaknya hadis tersebut merupakan hal yang niscaya
dilakukan.
Kajian terhadap periwayatan hadis untuk menentukan
otentik-tidaknya sudah banyak dilakukan oleh para ahli baik klasik maupun
kontemporer. Dan kajian ini tidak saja dilakukan oleh para pemikir muslim
(insider) sendiri akan tetapi juga oleh para orientalis yang nota bene
non-muslim (outsider). Para pengkaji hadis dari kalangan muslim yang cukup
kritis misalnya – untuk menyebut beberapa – Fazlur Rahman dari Indo Pakistan,
Muhammad al-Ghazali dan Yusuf Qardhawi dari Mesir, Muhammad Syahrur dari Syiria
dan M. Musthafa al-‘Azami dari India. Sedangkan dari kalangan Non-Muslim
(orientalis) kajian hadis dilakukan antara lain oleh Sprenger, Ignaz Goldziher,
Montgomery Watt, Joseph Scahact, dan sebaginya. Dan diakui maupun tidak,
periwayatan hadis menjadi kajian yang problematic dan menarik bagi para ahli,
baik yang mengkajinya sebagi pembela maupun sebagai penentangnya.
Dalam konteks histories, periwayatan hadis tidak
seberuntung al-Qur’an yang memang sejak awal telah dilakukan kodifikasi dan
pembukuan. Sementara kodifikasi al-hadis dilakukan lebih belakangan jauh
setelah wafatnya Nabi SAW. Dengan demikian periwayatan hadis menjadi
problematic dan banyak mengundang kritik dari para orientalis yang cukup tajam
dan bahkan memandang apriori terhadap otentisitasnya. Untuk itu, kajian dalam
makalah ini ingin mengungkap dan menelusuri metode periwayatan (transmisi) pada
awal Islam sebelum dibukukan dalam korpus yang mapan seperti dalam kitab-kitab
hadis yang beredar saat.
2.
Rumusan Masalah
a. Definisi periwayatan
hadis
b. Metode periwayatn
hadis
PEMBAHASAN
A.
Sekilas
Tentang Periwayatan Hadist
Hadist nabi yang
terhimpun dalam kitab-kitab hadist, terlebih dahulu melalui proses kegiatan
yang dinamai dengan riwayah al hadist
atau ar riwayah. Ar-riwayah adalah masdar
dari kata rawa yang berarti
penukilan, penyebutan, pintalan dan pemberian minum sampai puas[1].
Sedangkan dalam bahasa indonesia berarti cerita, kisah dan berita. Jika
dihubungkan dengan hadist, berarti cerita atau kabar yang umum yang di
maksudkan untuk menerangkan hukum syara’.[2]
Sedangkan
menurut istilah ilmu hadist, ar riwayah
berarti memindahkan hadist dan menyandarkannya kepada seseorang dengan metode
tertentu,[3]atau
kegiatan penerimaan dan penyampaian hadis serta penyandaranya kepada rangkaian
para periwayatan dengan bentuk tertentu[4].Dari
pengertian ini dapat di jelaskan bahwa dalam periwayatan hadis harus memenuhi
tiga unsur,yakni: (1) kegiatan menerima hadis dari periwayat hadis (at tahammul); (2) kegiatan menyampaikan
hadis itu kepada orang lain(al-ada);
dan (3) penyebutan susunan rangkaian periwayatannya ketika menyampaikan hadis(al isnad)[5].
Periwayatan
adalah memindahkan apa yang didengar,yaitu mencakup penerimaan dan penampaian
berita. Maka kegiatan ini sudah ada bersamaan dengan munculnya manusia di
bumi,dan tidak hanya terjadi pada suatu umat atau satu generasi. Karena memang
kegiatan ini merupakan tabiat manusia di dalam proses saling menerima dan
menyampaikan suatu kabar berita.
Sejarah telah
mencatat bahwa tradisi periwayatan ini telah menyebar di berbagai bangsa. Bangsa
Romawi sangat memperhatikan sejarah Tuhan mereka. Demikian juga Yunani dan Arab
Jahiliyah[6].
Mereka tidak akan mengetahui sejarah itu kecuali melalui penuturan secara turun
temurun(periwayatan) diantara mereka.Dengan cara ini mereka tidak perlu
menelusuri catatan-catatan atau dokumen dokumen yang tersimpan dalam suatu
lembaga tertentu,karena memang tradisi menulis belum membudaya di kalangan
mereka.
Ketika Islam datang, tradisi
periwayatan ini terus berjalan dan semakin mendapat perhatian khusus dari umat
Islam. Mereka mendasarkannya pada perintah Nabi:
حد ثوا
ولا حرج و من كز ب-قا ل هما م- : ا حسبه قا ل متعمدا فايتبوأ مقعده من النا ر
“Sampaikanlah(berita)dariku,
dan tak ada dosa. Barang siapa yang melakukan kebohongan dengan
mengatasnamakanku-Hamman berkata,”Aku mengira Nabi bersabda,”-dengan sengaja, maka
hendaklah ia menyiapkan tempatnya di neraka.”[7]
Tetapi
periwayatan dalam Islam-periwayatan hadis-mempunyai keistimewaan dan ciri-ciri
khusus yang akan membedakannya dari periwayatan-periwayatan yang telah ada
sebelumnya. Keistimewaan ini dilihat dari dua hal[8],
yaitu: (1) perhatian umat Islam terhadap aspek periwayatan; (2) adanya unsur
persambungan sanad sampai kepada
Nabi.
1.
Perhatian umat Islam terhadap aspek
periwayatan
Periwayatan
sebelum Islam di kalangan orang Arab dan lainnya sebatas pada penampaian kabar
atau berita tanpa memperhatikan orang yang menyampaikan dan kebenaran berita
itu.[9]
Namun ketika Islam datang dengan diutusnya Nabi Muhammad saw. yang membawa
ajaran yang benar sangat menekankan pentingnya penelitian berita yang diterima.
Hal ini sesuai dengan perintah Allah dalam surat al Hujurat(49): 6:
$pkr'¯»t tûïÏ%©!$#
(#þqãZtB#uä bÎ)
óOä.uä!%y`
7,Å$sù
:*t6t^Î/ (#þqãY¨t6tGsù br& (#qç7ÅÁè?
$JBöqs%
7's#»ygpg¿2 (#qßsÎ6óÁçGsù 4n?tã
$tB óOçFù=yèsù
tûüÏBÏ»tR
ÇÏÈ
“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang
fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak
menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang
menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.”[10]
Mengingat bahwa
ajaran Nabi yang terangkum dalam sunah(hadist)nya merupakan salah satu sumber
hukum Islam, maka sangat wajar jika umat Islam sangat besar perhatiannya
terhadap periwayatan ini. Mereka berusaha menelusuri orang-orang yang
menyampaikan atau meriwayatkan kabar yang konon dari Nabi, serta membahas
kebenaran kabar itu. Untuk itu mereka membuat kaedah khusus yang mengatur
secara cermat dan teliti terhadap periwayatan dan segala aspeknya yang belum
pernah ada kaedah serupa sebelumnya, baik di kalangan orang arab maupun
umat-umat seluruh dunia. Kaedah itu yang oleh para ulama, disebut dengan ‘ilmu mustalah al hadis dan tarih rijal al hadis atau biasa disebut ‘ilmu al hdis dirayah.[11]
Dengan ilmu tersebut umat Islam akan dapat mengetahui keadaan para periwayat
dan periwayatannya serta mampu membedakan hadis yang benar dan salah.
2.
Aspek persambungan sanad
Salah satu keistimewaan
periwayatan dalam Islam adalah mengharuskan adanya persambungan sanad, mulai dari periwayat yang disandari oleh mukharrij sampai kepada periwayat
tingkat sahabat yang menerima hadis yang bersangkutan dari Nabi saw. Yang
semuanya itu harus diterima dari para periwayat yang ‘adil dan dabit.[12]
Sedangkan sebagaimana telah disebut di
atas, bahwa periwayatan yang ada pada umat lainnya adalah sebatas pada
periwayatan an sich, yaitu menerima
dan menyampaikan berita tanpa ada persyaratan-persyaratan yang mengikat.
Hal ini ditemukan, misalnya,
pada periwayatan yang ada pada umat Yahudi. Sanad
yang menghubungkan kepada Nabi Musa as. terdapat keterputusan baik di awal,
tengah maupun akhir periwayat. Bahkan keterputusan itu ada pada sekitar tiga
puluh orang(masa atau tabaqat), atau
bersambung hanya sampai pada Syam’un atau yang semasanya. Demikian juga pada
kaum Nasrani. Di sana tidak ditemukan adanya sanad yang menghubungkan sampai kepada Nabi Isa as. Periwayatannya
banyak mengalami keterputusan, dan yang dimungkinkan bersambung hanya sanad pada periwayatan tentang haramnya talak.
Itu pun masih belum disepakati. Demikian juga pada Injil yang diduga telah
mengandung keraguan yang besar.[13]
Sanad atau isnad ini di
yakini sebagai jalan yang menyakinkan dalam rangka penerimaan hadis. Beberapa
pernyataan ulama berikut ini menjadi bukti atas pernyataan tentang pentingnya isnad ini. Diantaranya adalah Muhammad
bin Hatim al Mudaffar yang mengatakan bahwa sesungguhnya Allah memuliakan dan
melebihkan umat Islam atas umat lainnya dari sisi isnad, yang tidak ada umat sebelum dan sesudahnya yang mempunyai isnad yang bersambung.[14]
Bahkan menurut al Qadi Iyad, isnad
adalah poros(madar) hadis, yang
dengannya akan diketahui kebenaran hadis itu.’Abd Allah bin Al-Mubarak menyatakan:
الا سناد من الد ين لولا الا سنا د لقا ل من شاء
ما شاء
bahwa isnad,
merupakan bagian dari agama, jika tanpa isnad, mereka akan berkata sesuka
hatinya.[15]
Ibnu Sirin mengatakan:
ان هزا
العلم د ين فا نظرروا عمن تأ خز ون دينكم
bahwa isnad merupakan bagian
dari agama, maka perhatikanlah dari siapa kalian mengambilnya.
Oleh karenanya, maka
penelitian terhadap sumber berita mutlak diperlukan.[16]
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa keistimewaan
umat Islam dari umat lainnya dapat dilihat dari aspek persambungan sanad dan
pemindahannya dari periwayat yang bersifat ‘adil
dan dabit serta kejelian (kehati
hatian) dalam menerima dan menyampaikan kabar atau berita, dengan ciri ciri
semacam itulah periwayatan dalam Islam mampu membuka jalan untuk memgetahui periwayat
yang benar benar siqat dan menemukan
berita (hadis) yang orisinil dari Nabi Muhammad saw. Namun demikian, keistimewaan
umat Islam dengan sistem sanad yang bersambung
ini tidak bisa dianggap taken for granted.
Umat Islam berarti memiliki tugas membuktikan keistimewaan itu dengan melakukan
upaya-upaya serius memisahkaan riwayat yang memiliki sanad yang bersambung dari yang tidak bersambung. Tugas ini juga
berarti harus berani menafikan berbagai riwayat yang mungkin selama ini
dianggap bersambung namun ternyata sangat dicurigai aspek kebersambungannya dalam
sistem isnad yang selama ini
disepakati. Tugas ini bukan pekerjaan yang ringan mengingat berbagai riwayat
dalam berbagai caranya telah terjadi dalam rangkaian pemindahan dari satu
riwayat ke periwaayat berikutnya hingga sampai ke tangan mukharrij.
Selain itu, di kalangan ulama ada juga yang menghubungkan
dan membandingkan periwayatan hadis dengan kesaksian (asy syahadah)
suatu perkara. Dengan mempertimbangkan perbedaan dan persamaan[17]
diantara keduanya, maka istilah periwayat dapat disebut dengan saksi, yakni
saksi atas berita yang diriwayatkannya. Dalam hal ini, ilmu hadis sesuai dengan
ilmu sejarah, yang keduanya menggunakan istilah saksi primer dan saksi
sekunder. Kesesuaian itu terbukti misalnya, dalam ilmu hadis, yang mana
periwayat (saksi) dapat diterima periwayatannya jika ditemukan pada dirinya
kriteria ‘adil dan dabit serta ada syahid dan mutabi’
sebagai penguat. Demikian juga dalam ilmu sejarah. Suatu fakta dapat diterima jika
ada corroboration (dukungan) berupa dua orang atau lebih yang memenuhi syarat.
Selain itu, dari segi tujuan penelitian sumber, keduanya bertujan untuk
memperoleh berita atau fakta yang shahih.[18]
Selanjutnya, untuk mendalami periwayatan hadis ini, maka
perlu diketahui istilah istilah yang biasa di pakai oleh ahli hadis berkaitan
dengan periwayatan ini, di antaranya adalah:
1. Ar
Rawi adalah
orang yang meriwayatkan hadis dengan menyebutkan isnad nya.[19]
2. Al
Marwiy
adalah apa yang diriwayatkan, biasa disebut juga dengan matan atau hadis.
3. Sanad atau Isnad adalah
susunan rangkaian para periwayat yang menyampaikan matan dari sumbernya
yang pertama.[20]
4. Matn
adalah lafal hadis yang terdiri dari makna-makna atau ungkapan, informasi nyata
yang disandarkan kepada Nabi.[21]
5. ‘Adil[22]
adalah sifat yang harus dimiliki oleh periwayat dari segi kepribadiannya, yakni
mencakup aspek beragama Islam, mukallaf, melaksanakan ketentuan agama, dan
memelihara muruah.
6. Dabit[23] adalah sifat yang harus
dimiliki oleh periwayat dari segi kapaasitas intelektualnya, mencakup aspek
hafal dengan sempurna hadis yang diriwayatkannya dan mampu dengan baik
menyampaikan hadis yang dihafalnya itu kepada orang lain tanpa kesalahan.
8. At
Tahammul
adalah cara mendapatkan atau menerima hadis dari seorang guru dengan
metode-metode tertentu.
9. Al
Ada adalah
cara menyampaikan atau meriwayatkan hadis kepada orang atau periwayat lain
dengan menggunakan sigat-sigat tertentu.[25]
B. Metode
Periwayatan Hadis
Ulama hadis
menetapkan berbagai istilah(harf) atau term tertentu untuk menghubungkan
periwayat dengan periwayat lain yang terdekat dalam sanad.Istilah atau term itu
menggambarkan cara yang telah ditempuh oleh periwayat hadis yang bersangkutan
tatkala menerima riwayat hadis.Pada umumnya, ulama membagi tata cara penerimaan
riwayat hadis menjadi delapan diantaranya:
a. Metode al sama’
yaitu seorang guru membaca hadis di depan murid.Metode al sama’
menggunakan istilah atau kata yang beragam a. سمعت b.
حد ثنا c. تنى حد d. اخبرنا e.
لنا قال f. لنازكر .
Bobot kualitas penggunaan kata-kata ini tidak disepakati oleh
ulama.Menurut al-Khatib al-Bagdadi(wafat 463 H/1072 m),kata tertinggi
adalah سمعت kemudian kata-kata حد ثنا dan تنى حد .Alasannya, kata سمعت menunjukan
kepastian periwayat mendengar langsung hadis yang diriwayatkannya.Menurut Ibn
al-Salah(wafat 643 H/1245 M),kata حد ثنا dan أخبرنا di satu segi bisa saja
berkualitas lebih tinggi daripada سمعت . Karena kata سمعت dapat berarti guru
hadis(al-Syaikh) tidak khusus menghadapkan riwayatnya kepada penerima riwayat
yang menyatakan سمعت tadi:atau guru hadis itu
tidak melihat langsung penerima riwayat yang menyatakan kata سمعت tersebut. Sedangkan
kata-kata حد ثنا dan أخبرنا memberi petunjuk bahwa guru hadis menyampaikan dan menghadapkan
riwayatnya kepada periwayat yang menyatakan حد ثنا atau أخبرنا tersebut. Menurut Ibnu Hajar
al-‘Asqalani(wafat 852 H/1449 M) Kata سمعت dan تنى حد
menunjukan bahwa periwayat mendengar sendiri, sedang
سمعت dan حد ثنا pada umumnya
menunjukan bahwa periwayat mendengar bersama orang lain.Sedangkan kata yang di gunakan oleh Al-Turmuzi, Abu
Daud , Ibnhu Majah maupun Ahamad Bin Hanbal untuk menghubungkan periwayat
dengan periwayat lain yang terdekat dalam sanad, ialah السمع. Adapun kata yang dipakai sebagai penghubung antara periwayat dengan
periwayat dalam satu sanad, ada yang di tulis secara lengkap dan ada yang di
tulis dalam bentuk singkatan. Pada hadis- hadis tentang sekte-sekte yang dikutip
,dalam bab III sub A,ada yang tertulis secara lengkap dan ada pula yang
berbentuk singkatan. Yang disebut terakhir adalah ثنا merupakan
singkatan dari حد ثنا dan
huruf ح merupakan
singkatan dari التحو إسنا د إلى إسنا د
(perpindahan dari sanad yang satu ke sanad yang lain).
Di samping itu,juga ada kata-kata (tepatnya
harf)yang terdapat dalam sanad.Fungsi harf selain sebagai petunjuk mengenai
cara periwayatan yang telah ditempuh oleh periwayatan ,juga sebagai bentuk
persambungan sanad yang bersangkutan.Harf dimaksud adalah عن dan أن .Sanad hadis yang mengadus harf yang
disebutkan pertama lazim disebut sebagai hadis معنعن ,sedang yang mengandung harf yang
disebutkan kedua lazim disebut sebagai hadis
مأ نَن . Sebagian
ulama menyatakan,sanad hadis yang mengandung harf عن adalah sanad yang terputus.Namun mayoritas ulama menilainya
melalui al-sama’,apabila dipenuhi
syarat-syarat berikut:
a. Dalam sanad yang mengandung harf عن itu tidak terdapat pembunyian informasi(tadlis) yang dilakukan oleh
periwayatan.
b. Antara periwayatan dengan periwayatan yang
terdekat yang di antara oleh harfعن itu dimungkinkan terjadi pertemuan.
c. Malik bin Anas,Ibn ‘Abdulbarr dan al-‘Iraqi menambahkan satu syarat lagi,
yakni para periwayatnya haruslah orang-orang yang kepercayaan.
Sedangkan
pengertian “harf” أن dalam
sanad,kalangan ulama ada yang menyamakan dengan
عن ,dan sebagian ulama lagi ada yang
membedakannya.Menurut pendapat yang disebutkan terakhir ,”harf” أن menunjukan keterputusan hubungan
periwayatn kecuali bila terdapat bukti bahwa hubungan tersebutr tidak
terputus.Sebagian ulam lagi ada yang menyamakan pengertian “harf” atau kata أن , عن ,dan قا ل .Yakni sama-sama harus
diteliti terlebih dahulu persambungan antara periwayat dengan periwayat lain
yang diantarai oleh “harf” atau kata tersebut.Adapun yang diteliti dalam hal
ini adalah kualitas pribadi periwayat yang memakai “harf” atau suku kata di
atas dan hubungannya periwayat tersebut dengan periwayat sebelumnya yang
diantarai dengan harf atau kata dimaksud.
b. Al-Qira’ah ala al-syaykh(‘Ardh) yaitu seorang
murid membacakan hadis(yang didapatkan dari guru yang lain)di depan gurunya.
c. Al-ijazah yaitu pemberian izin oleh seorang guru
kepada murid untuk meriwayatkan sebuah buku hadis tanpa membaca hadis tersebut
satu per satu.
d. Al-munawalah yaitu seorang guru memberikan
sebuah materi tertulis kepada seseorang
untuk meriwayatkannya.
Dalam metode ijazah dan munawalah dipakai istilah Anba’ana أنبأنا
e. Al-mukatabah(kitabah) yaitu seorang guru
menuliskan rangkaian hadis untuk seseorang.
f. Al-i’lam yaitu memberikan informasi kepada
seseorang bahwa ia memberikan izin untuk meriwayatkan materi hadis tertentu.
g. Al-wasiyyah yaitu seorang guru (syaikhul
hadist)mewariskan buku-buku hadisnya kepada seseorang .
h. Al-wijadah yaitu seseorang menemukan sejumlah
buku-bukuhadis yang ditulis seseorang yang tidak dikenal namanya.Corak seperti
ini sekarang ini,sering kita temukan dalam bentuk manuskrip di sebuah
perpustakaan atau di tempat lainnya.
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari uraian dan pembahasan di atas dapat disimpulkan
sebagai berikut:
1. Bahwa perjalanan hadis hingga era kodifikasi dalam
korpus resmi telah melewati beberapa fase
yang tidak selalu mulus dan murni, bukan saja dari rangkaian sanad-nya tetapi
juga materi hadis itu sendiri. Hadis-hadis Nabi tersebut, sampai masa
pembukuanya secara resmi pada zaman Umar bin Abdul aziz pada tahun 99 H, masih
bercampur dengan kata-kata dan fatwa sahabat. Hal ini menyebabkan jumlah materi
hadis menjadi menggelembung, tetapi setelah diseleksi menjadi sedikit lagi.
2.Periwayatan hadis nabi sudah dimulai semenjak awal
permulaan Islam. Dan periwayatan hadis pada masa nabi berjalan secara
alamaiyah, seiring dengan perkembangan wilayah Islam yang luas dan untuk
menghindari berbagai pemalsuan maka kemudian menuntut adanya suatu metode yang
disebut dengan al-tahamul wa ada’ al-hadis. Dan ternyata metode ini telah digunakan
secara luas pada abad pertama Hijrah.
3.Untuk menjaga otentisitas hadis Nabi juga telah
mencuatkan tentang fenomena bentuk periwayatan hadis dengan lafazd atau makna.
Demikian juga untuk mejaga otentisitas dan kredibilitas hadis Nabi dalam
persambungan periwayatan antara satu generasi dengan generasi sesudahnya, pada
masa awal Islam telah lahir teori system Isnad. Sehingga hadis Nabi yang
diriwayatkan bisa dipertanggungjawabkan secara baik dan benar.
DAFTAR PUSTAKA
Noorhidayati Salamah, M.Ag. 2009. Kritik Teks Hadis.
Yogyakarta: Teras.
Mustafa Azami Muhammad, MA, Ph.D. 1992. Metodologi Kritik
Hadis. Jakarta Pusat: Pustaka Hidayah.
Drs. Assa’idi Sa’dullah, MA. 1996. Hadis-Hadis Sekte. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
[1] Louis Ma’luf, Al Munjid, fi al Lugah wa al A’lam(Beirut:
Dar al Masyriq, 1986), hlm. 289.
[2] Departemen Agama Ensiklopedi Islam 3 (Jakarta: CV. Anda
Utama, 1993), hlm. 1002
[3] Mustafa Amin Ibrahim at Taziy, Muhadrat
fi Ulum al Hadis (Mesir:Dar at Taf’lif bi al Maliyyah,t.t.),Juz,I,cet.IV,hlm.18.Bandingkan
dengan Badran Abu al’Ainan Badran ,Al
Hadis an Nabawy asy Syarif Tarikhuh
wa Mustalahuh(Iskandariyah:Muassasah Syabab al Jami’ah,1984),hlm.8;Jalal ad
Din Abu al Fadl’Abd ar Rahman as-Suyutiy,Tadrib
ar Rawi fi Syarh Taqrib an Nawawiy (Beirut:Dar al
Fikr,1414 H./1994),hlm.13
[4] M. Syuhudi Ismail,Kaedah
Kesahihan Sanad Hadis(Jakarta:Bulan Bintang,1988),hlm .21.
[5] Ibid
[6] At Taziy,op.cit.,hlm.30.
[7] Abu al-Husain Muslim bin al-Hajjaj bin Muslim an-Naisabury,Sahih Muslim(Beirut:Daar al Kutub
al-Ilmiyyah,[t.t.]),juz II,hlm.598.
[8] At Taziy,op.cit.,hlm.31.
[9] Ibid.;M.M. Abu Syuhbah,Fi Rihab as-Sunnah al-Kutub as-Sihah
as-Sittah(Al-Azhar: Majma’ al-Buhus al-Islamiyah, 1969), hlm. 32.
[10] Departemen Agama, Al Qur’an dan terjemahannya (Jakarta: PT.
Intermasa, 1993), hlm. 846.
[11] Ilmu Hadist Dirayah merupakan salah satu cabang ilmu hadis, yaitu
suatu ilmu untuk keadaan sanad dan matan dari segi diterima dan ditolaknya dan
hal—hal yang berkaitan dengan itu, atau ilmu untuk mengetahui kaedah-kaedah
tentang periwayat dan matan hadis. Definisi ini diutarakan Ibnu Hajar dan
diikuti oleh ulama-ulama ahli hadis. Lihat Muhammad ‘Ajjaj al Khafib, Usul al Hadis ‘Ulumuh wa Mustalahuh(Beirut:
Dar al Fikr, 1998), hlm. 7; Muhammad Jamal ad Din al Qasimiy, Qawaid atTahdis min Funun Mustalah al
Hadis ([t.k.]: ‘Isa al Babiy al Halabiy wa Syirkah 1961), hlm. 75; M. Hasbi
ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu
Hadis(Jakarta; Bulan Bintang, 1954)
hlm. 151; Mahmud at Tahhan, Tafsir
Mustalah al Hadis([t.k.] : [t p.], 1978), hlm. 14.
[12] At Taziy,op.cit., hlm.
33; Abun Syuhbah, op.cit., hlm. 33.
[13] Ibid. (at Taziy), hlm. 34; al Qasimiy, op.cit.. hlm.
201; Badran, op.cit. , hlm. 10; Ibid. (Abu Syuhbah).
[14] Ibid. (at Taziy).
[15] Abu al Fadl ‘Iyad bin Musa al Yahsubiy, Al Ilma Ila Ma’rifah
Usul ar Riwayah wa Taqyid as Sima’ (Mesir: Dar at Turas, 1970), hlm. 194;
Al Hakim Abu ‘Abd Allah Muhammad bin ‘Abd Allah al Hafiz an Naisaburiy, Ma’rifah
al ‘Ulum al Hadis (Madinah: Maktabah al ‘Ilmiyyah, 1977), hlm. 6;Imam Abu
‘Amr ‘Usman bin ‘Abd ar Rahman asy Syahrazuwariy yang lebih terkenal dengan
sebutan Ibn as Salah, ‘Ulum al Hadis (Madinah: Maktabah al
‘Ilmiyyah,1966), hlm. 231.
[16] Muslim, op.cit., hlm. 8.
[17] Syuhudi Ismail, op.cit., hlm. 22 23; as Suyutiy, op.cit., hlm. 219
221.
[18] Syuhudi, kaedah, hlm. 203.
[19] At Taziy, op.cit., hlm. 47.
[20] Al Khatib, op.cit., hlm. 32. Bandingkan dengan Ibid., hlm. 16; al
Qasimiy, op.cit., hlm. 202; Nur ad Din ‘Itr, Al Madkha Ila Ulum al Hadis
(Madinah: Maktabah al ‘Ilmiyyah, 1966), hlm. 12.
[21] Ibid. (al Khatib). Bandingkan Ibid. (at Taziy), hlm. 17; Ibid. (al
Qasimiy); Ibid. (‘Itr).
[22] Syuhudi Ismail, op.cit., hlm. 118.
[23]Ibid., hlm. 120.
[24] Syuhudi Ismail, op.cit., hlm. 8 dan dalam bukunya, Metodologi
Penelitian Hadis Nabi (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), hlm. 18.
[25] Al Kitab, op.cit., hlm. 227. Lihat pula at Tahhan, op.cit.,
hlm.155.
0 komentar:
Posting Komentar