Rabu, 22 Mei 2013 | By: Unknown

Metode Periwayatan Hadits


PENDAHULUAN

1.      Latar Belakang
Hadis merupakan sumber sunnah Nabi SAW yang menjadi rujukan kedua dalam kajian hokum Islam setelah al-Qur’an al-Karim. Oleh karena itu, kedudukan hadis sangat signifikan dan urgen dalam Islam. Hanya saja urgensi dan signifikansi hadis tidak mempunyai makna, manakala eksistensinya tidak didukung oleh uji kualifikasi histories yang memadai dalam proses transmisinya (periwayatan). Dengan demikian, sebelum hadis itu menjadi sunnah yang merypakan sumber dan landasan suatu istinbat hokum, maka uji kualifikasi histories untuk menentukan otentik tidaknya hadis tersebut merupakan hal yang niscaya dilakukan.
Kajian terhadap periwayatan hadis untuk menentukan otentik-tidaknya sudah banyak dilakukan oleh para ahli baik klasik maupun kontemporer. Dan kajian ini tidak saja dilakukan oleh para pemikir muslim (insider) sendiri akan tetapi juga oleh para orientalis yang nota bene non-muslim (outsider). Para pengkaji hadis dari kalangan muslim yang cukup kritis misalnya – untuk menyebut beberapa – Fazlur Rahman dari Indo Pakistan, Muhammad al-Ghazali dan Yusuf Qardhawi dari Mesir, Muhammad Syahrur dari Syiria dan M. Musthafa al-‘Azami dari India. Sedangkan dari kalangan Non-Muslim (orientalis) kajian hadis dilakukan antara lain oleh Sprenger, Ignaz Goldziher, Montgomery Watt, Joseph Scahact, dan sebaginya. Dan diakui maupun tidak, periwayatan hadis menjadi kajian yang problematic dan menarik bagi para ahli, baik yang mengkajinya sebagi pembela maupun sebagai penentangnya.
Dalam konteks histories, periwayatan hadis tidak seberuntung al-Qur’an yang memang sejak awal telah dilakukan kodifikasi dan pembukuan. Sementara kodifikasi al-hadis dilakukan lebih belakangan jauh setelah wafatnya Nabi SAW. Dengan demikian periwayatan hadis menjadi problematic dan banyak mengundang kritik dari para orientalis yang cukup tajam dan bahkan memandang apriori terhadap otentisitasnya. Untuk itu, kajian dalam makalah ini ingin mengungkap dan menelusuri metode periwayatan (transmisi) pada awal Islam sebelum dibukukan dalam korpus yang mapan seperti dalam kitab-kitab hadis yang beredar saat.
2.      Rumusan Masalah
a. Definisi periwayatan hadis
b. Metode periwayatn hadis

PEMBAHASAN
A.            Sekilas Tentang Periwayatan Hadist
Hadist nabi yang terhimpun dalam kitab-kitab hadist, terlebih dahulu melalui proses kegiatan yang dinamai dengan riwayah al hadist atau ar riwayah. Ar-riwayah adalah masdar dari kata rawa yang berarti penukilan, penyebutan, pintalan dan pemberian minum sampai puas[1]. Sedangkan dalam bahasa indonesia berarti cerita, kisah dan berita. Jika dihubungkan dengan hadist, berarti cerita atau kabar yang umum yang di maksudkan untuk menerangkan hukum syara’.[2]
Sedangkan menurut istilah ilmu hadist, ar riwayah berarti memindahkan hadist dan menyandarkannya kepada seseorang dengan metode tertentu,[3]atau kegiatan penerimaan dan penyampaian hadis serta penyandaranya kepada rangkaian para periwayatan dengan bentuk tertentu[4].Dari pengertian ini dapat di jelaskan bahwa dalam periwayatan hadis harus memenuhi tiga unsur,yakni: (1) kegiatan menerima hadis dari periwayat hadis (at tahammul); (2) kegiatan menyampaikan hadis itu kepada orang lain(al-ada); dan (3) penyebutan susunan rangkaian periwayatannya ketika menyampaikan hadis(al isnad)[5].
Periwayatan adalah memindahkan apa yang didengar,yaitu mencakup penerimaan dan penampaian berita. Maka kegiatan ini sudah ada bersamaan dengan munculnya manusia di bumi,dan tidak hanya terjadi pada suatu umat atau satu generasi. Karena memang kegiatan ini merupakan tabiat manusia di dalam proses saling menerima dan menyampaikan suatu kabar berita.
Sejarah telah mencatat bahwa tradisi periwayatan ini telah menyebar di berbagai bangsa. Bangsa Romawi sangat memperhatikan sejarah Tuhan mereka. Demikian juga Yunani dan Arab Jahiliyah[6]. Mereka tidak akan mengetahui sejarah itu kecuali melalui penuturan secara turun temurun(periwayatan) diantara mereka.Dengan cara ini mereka tidak perlu menelusuri catatan-catatan atau dokumen dokumen yang tersimpan dalam suatu lembaga tertentu,karena memang tradisi menulis belum membudaya di kalangan mereka.
Ketika Islam datang, tradisi periwayatan ini terus berjalan dan semakin mendapat perhatian khusus dari umat Islam. Mereka mendasarkannya pada perintah Nabi:

حد ثوا ولا حرج و من كز ب-قا ل هما م- : ا حسبه قا ل متعمدا فايتبوأ مقعده من النا ر                                                    “Sampaikanlah(berita)dariku, dan tak ada dosa. Barang siapa yang melakukan kebohongan dengan mengatasnamakanku-Hamman berkata,”Aku mengira Nabi bersabda,”-dengan sengaja, maka hendaklah ia menyiapkan tempatnya di neraka.”[7]

Tetapi periwayatan dalam Islam-periwayatan hadis-mempunyai keistimewaan dan ciri-ciri khusus yang akan membedakannya dari periwayatan-periwayatan yang telah ada sebelumnya. Keistimewaan ini dilihat dari dua hal[8], yaitu: (1) perhatian umat Islam terhadap aspek periwayatan; (2) adanya unsur persambungan sanad sampai kepada Nabi.

1.       Perhatian umat Islam terhadap aspek periwayatan
Periwayatan sebelum Islam di kalangan orang Arab dan lainnya sebatas pada penampaian kabar atau berita tanpa memperhatikan orang yang menyampaikan dan kebenaran berita itu.[9] Namun ketika Islam datang dengan diutusnya Nabi Muhammad saw. yang membawa ajaran yang benar sangat menekankan pentingnya penelitian berita yang diterima. Hal ini sesuai dengan perintah Allah dalam surat al Hujurat(49): 6:

$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä bÎ) óOä.uä!%y` 7,Å$sù :*t6t^Î/ (#þqãY¨t6tGsù br& (#qç7ŠÅÁè? $JBöqs% 7's#»ygpg¿2 (#qßsÎ6óÁçGsù 4n?tã $tB óOçFù=yèsù tûüÏBÏ»tR ÇÏÈ
“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.”[10]
Mengingat bahwa ajaran Nabi yang terangkum dalam sunah(hadist)nya merupakan salah satu sumber hukum Islam, maka sangat wajar jika umat Islam sangat besar perhatiannya terhadap periwayatan ini. Mereka berusaha menelusuri orang-orang yang menyampaikan atau meriwayatkan kabar yang konon dari Nabi, serta membahas kebenaran kabar itu. Untuk itu mereka membuat kaedah khusus yang mengatur secara cermat dan teliti terhadap periwayatan dan segala aspeknya yang belum pernah ada kaedah serupa sebelumnya, baik di kalangan orang arab maupun umat-umat seluruh dunia. Kaedah itu yang oleh para ulama, disebut dengan ‘ilmu mustalah al hadis dan tarih rijal al hadis atau biasa disebut ‘ilmu al hdis dirayah.[11] Dengan ilmu tersebut umat Islam akan dapat mengetahui keadaan para periwayat dan periwayatannya serta mampu membedakan hadis yang benar dan salah.

2.       Aspek persambungan sanad
Salah satu keistimewaan periwayatan dalam Islam adalah mengharuskan adanya  persambungan sanad, mulai dari periwayat yang disandari oleh mukharrij sampai kepada periwayat tingkat sahabat yang menerima hadis yang bersangkutan dari Nabi saw. Yang semuanya itu harus diterima dari para periwayat yang ‘adil dan dabit.[12]  Sedangkan sebagaimana telah disebut di atas, bahwa periwayatan yang ada pada umat lainnya adalah sebatas pada periwayatan an sich, yaitu menerima dan menyampaikan berita tanpa ada persyaratan-persyaratan yang mengikat.
Hal ini ditemukan, misalnya, pada periwayatan yang ada pada umat Yahudi. Sanad yang menghubungkan kepada Nabi Musa as. terdapat keterputusan baik di awal, tengah maupun akhir periwayat. Bahkan keterputusan itu ada pada sekitar tiga puluh orang(masa atau tabaqat), atau bersambung hanya sampai pada Syam’un atau yang semasanya. Demikian juga pada kaum Nasrani. Di sana tidak ditemukan adanya sanad yang menghubungkan sampai kepada Nabi Isa as. Periwayatannya banyak mengalami keterputusan, dan yang dimungkinkan bersambung hanya sanad pada periwayatan tentang haramnya talak. Itu pun masih belum disepakati. Demikian juga pada Injil yang diduga telah mengandung keraguan yang besar.[13]
Sanad atau isnad ini di yakini sebagai jalan yang menyakinkan dalam rangka penerimaan hadis. Beberapa pernyataan ulama berikut ini menjadi bukti atas pernyataan tentang pentingnya isnad ini. Diantaranya adalah Muhammad bin Hatim al Mudaffar yang mengatakan bahwa sesungguhnya Allah memuliakan dan melebihkan umat Islam atas umat lainnya dari sisi isnad, yang tidak ada umat sebelum dan sesudahnya yang mempunyai isnad yang bersambung.[14] Bahkan menurut al Qadi Iyad, isnad adalah poros(madar) hadis, yang dengannya akan diketahui kebenaran hadis itu.’Abd Allah bin Al-Mubarak menyatakan:

الا سناد من الد ين لولا الا سنا د لقا ل من شاء ما شاء
            bahwa isnad, merupakan bagian dari agama, jika tanpa isnad, mereka akan berkata sesuka hatinya.[15]


            Ibnu Sirin mengatakan:
ان هزا العلم د ين فا نظرروا عمن تأ خز ون دينكم                     

    bahwa isnad merupakan bagian dari agama, maka perhatikanlah dari siapa kalian mengambilnya.

            Oleh karenanya, maka penelitian terhadap sumber berita mutlak diperlukan.[16]
            Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa keistimewaan umat Islam dari umat lainnya dapat dilihat dari aspek persambungan sanad dan pemindahannya dari periwayat yang bersifat ‘adil dan dabit serta kejelian (kehati hatian) dalam menerima dan menyampaikan kabar atau berita, dengan ciri ciri semacam itulah periwayatan dalam Islam mampu membuka jalan untuk memgetahui periwayat yang benar benar siqat dan menemukan berita (hadis) yang orisinil dari Nabi Muhammad saw. Namun demikian, keistimewaan umat Islam dengan sistem sanad yang  bersambung ini tidak bisa dianggap taken for granted. Umat Islam berarti memiliki tugas membuktikan keistimewaan itu dengan melakukan upaya-upaya serius memisahkaan riwayat yang memiliki sanad yang bersambung dari yang tidak bersambung. Tugas ini juga berarti harus berani menafikan berbagai riwayat yang mungkin selama ini dianggap bersambung namun ternyata sangat dicurigai aspek kebersambungannya dalam sistem isnad yang selama ini disepakati. Tugas ini bukan pekerjaan yang ringan mengingat berbagai riwayat dalam berbagai caranya telah terjadi dalam rangkaian pemindahan dari satu riwayat ke periwaayat berikutnya hingga sampai ke tangan mukharrij.
            Selain itu, di kalangan ulama ada juga yang menghubungkan dan membandingkan periwayatan hadis dengan kesaksian (asy syahadah) suatu perkara. Dengan mempertimbangkan perbedaan dan persamaan[17] diantara keduanya, maka istilah periwayat dapat disebut dengan saksi, yakni saksi atas berita yang diriwayatkannya. Dalam hal ini, ilmu hadis sesuai dengan ilmu sejarah, yang keduanya menggunakan istilah saksi primer dan saksi sekunder. Kesesuaian itu terbukti misalnya, dalam ilmu hadis, yang mana periwayat (saksi) dapat diterima periwayatannya jika ditemukan pada dirinya kriteria ‘adil dan dabit serta ada syahid dan mutabi’ sebagai penguat. Demikian juga dalam ilmu sejarah. Suatu fakta dapat diterima jika ada corroboration (dukungan) berupa dua orang atau lebih yang memenuhi syarat. Selain itu, dari segi tujuan penelitian sumber, keduanya bertujan untuk memperoleh berita atau fakta yang shahih.[18]
            Selanjutnya, untuk mendalami periwayatan hadis ini, maka perlu diketahui istilah istilah yang biasa di pakai oleh ahli hadis berkaitan dengan periwayatan ini, di antaranya adalah:
1.    Ar Rawi adalah orang yang meriwayatkan hadis dengan menyebutkan isnad nya.[19]
2.    Al Marwiy adalah apa yang diriwayatkan, biasa disebut juga dengan matan atau hadis.
3.    Sanad atau Isnad adalah susunan rangkaian para periwayat yang menyampaikan matan dari sumbernya yang pertama.[20]
4.    Matn adalah lafal hadis yang terdiri dari makna-makna atau ungkapan, informasi nyata yang disandarkan kepada Nabi.[21]
5.    Adil[22] adalah sifat yang harus dimiliki oleh periwayat dari segi kepribadiannya, yakni mencakup aspek beragama Islam, mukallaf, melaksanakan ketentuan agama, dan memelihara muruah.
6.    Dabit[23] adalah sifat yang harus dimiliki oleh periwayat dari segi kapaasitas intelektualnya, mencakup aspek hafal dengan sempurna hadis yang diriwayatkannya dan mampu dengan baik menyampaikan hadis yang dihafalnya itu kepada orang lain tanpa kesalahan.
7.    Mukharrij[24] adalah orang yang meriwayatkan hadis sekaligus menghimpunnya dalam sebuah kitab.
8.    At Tahammul adalah cara mendapatkan atau menerima hadis dari seorang guru dengan metode-metode tertentu.
9.    Al Ada adalah cara menyampaikan atau meriwayatkan hadis kepada orang atau periwayat lain dengan menggunakan sigat-sigat tertentu.[25]

B.     Metode Periwayatan Hadis
Ulama hadis menetapkan berbagai istilah(harf) atau term tertentu untuk menghubungkan periwayat dengan periwayat lain yang terdekat dalam sanad.Istilah atau term itu menggambarkan cara yang telah ditempuh oleh periwayat hadis yang bersangkutan tatkala menerima riwayat hadis.Pada umumnya, ulama membagi tata cara penerimaan riwayat hadis menjadi delapan diantaranya:
a.       Metode al sama’  yaitu seorang guru membaca hadis di depan murid.Metode al sama’ menggunakan istilah atau kata yang beragam    a.  سمعت         b. حد ثنا       c. تنى حد           d. اخبرنا     e. لنا قال        f. لنازكر .
Bobot kualitas penggunaan kata-kata ini tidak disepakati oleh ulama.Menurut al-Khatib al-Bagdadi(wafat 463 H/1072 m),kata tertinggi adalah  سمعت kemudian kata-kata حد ثنا       dan تنى حد .Alasannya, kata  سمعت menunjukan kepastian periwayat mendengar langsung hadis yang diriwayatkannya.Menurut Ibn al-Salah(wafat 643 H/1245 M),kata حد ثنا dan أخبرنا   di satu segi bisa saja berkualitas lebih tinggi daripada  سمعت . Karena kata سمعت   dapat berarti guru hadis(al-Syaikh) tidak khusus menghadapkan riwayatnya kepada penerima riwayat yang menyatakan   سمعت  tadi:atau guru hadis itu tidak melihat langsung penerima riwayat yang menyatakan kata سمعت  tersebut. Sedangkan kata-kata حد ثنا  dan أخبرنا memberi petunjuk bahwa guru hadis menyampaikan dan menghadapkan riwayatnya kepada periwayat yang menyatakan حد ثنا  atau أخبرنا  tersebut. Menurut Ibnu Hajar al-‘Asqalani(wafat 852 H/1449 M) Kata  سمعت dan تنى حد  menunjukan bahwa periwayat mendengar sendiri, sedang  سمعت dan حد ثنا  pada umumnya menunjukan bahwa periwayat mendengar bersama orang lain.Sedangkan  kata yang di gunakan oleh Al-Turmuzi, Abu Daud , Ibnhu Majah maupun Ahamad Bin Hanbal untuk menghubungkan periwayat dengan periwayat lain yang terdekat dalam sanad, ialah السمع. Adapun kata yang dipakai sebagai penghubung antara periwayat dengan periwayat dalam satu sanad, ada yang di tulis secara lengkap dan ada yang di tulis dalam bentuk singkatan. Pada hadis- hadis tentang sekte-sekte  yang dikutip  ,dalam bab III sub A,ada yang tertulis secara lengkap dan ada pula yang berbentuk singkatan. Yang disebut terakhir adalah  ثنا  merupakan singkatan dari حد ثنا dan huruf ح merupakan singkatan dari التحو  إسنا د إلى إسنا د  (perpindahan dari sanad yang satu ke sanad yang lain).
Di samping itu,juga ada kata-kata (tepatnya harf)yang terdapat dalam sanad.Fungsi harf selain sebagai petunjuk mengenai cara periwayatan yang telah ditempuh oleh periwayatan ,juga sebagai bentuk persambungan sanad yang bersangkutan.Harf dimaksud adalah  عن dan أن  .Sanad hadis yang mengadus harf yang disebutkan pertama lazim disebut sebagai hadis معنعن ,sedang yang mengandung harf yang disebutkan kedua lazim disebut sebagai hadis مأ نَن  . Sebagian ulama menyatakan,sanad hadis yang mengandung harf عن   adalah sanad yang  terputus.Namun mayoritas ulama menilainya melalui al-sama’,apabila  dipenuhi syarat-syarat berikut:
a.       Dalam sanad yang mengandung harf  عن  itu tidak terdapat pembunyian informasi(tadlis) yang dilakukan oleh periwayatan.
b.      Antara periwayatan dengan periwayatan yang terdekat yang di antara oleh harfعن    itu dimungkinkan terjadi pertemuan.
c.       Malik bin Anas,Ibn ‘Abdulbarr  dan al-‘Iraqi menambahkan satu syarat lagi, yakni para periwayatnya haruslah orang-orang yang kepercayaan.
Sedangkan pengertian “harf”   أن dalam sanad,kalangan ulama ada yang menyamakan dengan   عن  ,dan sebagian ulama lagi ada yang membedakannya.Menurut pendapat yang disebutkan terakhir ,”harf”  أن  menunjukan keterputusan hubungan periwayatn kecuali bila terdapat bukti bahwa hubungan tersebutr tidak terputus.Sebagian ulam lagi ada yang menyamakan pengertian “harf” atau kata  أن , عن ,dan  قا ل   .Yakni sama-sama harus diteliti terlebih dahulu persambungan antara periwayat dengan periwayat lain yang diantarai oleh “harf” atau kata tersebut.Adapun yang diteliti dalam hal ini adalah kualitas pribadi periwayat yang memakai “harf” atau suku kata di atas dan hubungannya periwayat tersebut dengan periwayat sebelumnya yang diantarai dengan harf atau kata dimaksud.
b.      Al-Qira’ah ala al-syaykh(‘Ardh) yaitu seorang murid membacakan hadis(yang didapatkan dari guru yang lain)di depan gurunya.
c.       Al-ijazah yaitu pemberian izin oleh seorang guru kepada murid untuk meriwayatkan sebuah buku hadis tanpa membaca hadis tersebut satu per satu.
d.      Al-munawalah yaitu seorang guru memberikan sebuah  materi tertulis kepada seseorang untuk meriwayatkannya.
Dalam metode ijazah dan munawalah dipakai istilah Anba’ana  أنبأنا
e.       Al-mukatabah(kitabah) yaitu seorang guru menuliskan rangkaian hadis untuk seseorang.
f.       Al-i’lam yaitu memberikan informasi kepada seseorang bahwa ia memberikan izin untuk meriwayatkan materi hadis tertentu.
g.       Al-wasiyyah yaitu seorang guru (syaikhul hadist)mewariskan buku-buku hadisnya kepada seseorang .
h.      Al-wijadah yaitu seseorang menemukan sejumlah buku-bukuhadis yang ditulis seseorang yang tidak dikenal namanya.Corak seperti ini sekarang ini,sering kita temukan dalam bentuk manuskrip di sebuah perpustakaan atau di tempat lainnya.
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Dari uraian dan pembahasan di atas dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Bahwa perjalanan hadis hingga era kodifikasi dalam korpus resmi telah melewati beberapa    fase yang tidak selalu mulus dan murni, bukan saja dari rangkaian sanad-nya tetapi juga materi hadis itu sendiri. Hadis-hadis Nabi tersebut, sampai masa pembukuanya secara resmi pada zaman Umar bin Abdul aziz pada tahun 99 H, masih bercampur dengan kata-kata dan fatwa sahabat. Hal ini menyebabkan jumlah materi hadis menjadi menggelembung, tetapi setelah diseleksi menjadi sedikit lagi.
2.Periwayatan hadis nabi sudah dimulai semenjak awal permulaan Islam. Dan periwayatan hadis pada masa nabi berjalan secara alamaiyah, seiring dengan perkembangan wilayah Islam yang luas dan untuk menghindari berbagai pemalsuan maka kemudian menuntut adanya suatu metode yang disebut dengan al-tahamul wa ada’ al-hadis. Dan ternyata metode ini telah digunakan secara luas pada abad pertama Hijrah.
3.Untuk menjaga otentisitas hadis Nabi juga telah mencuatkan tentang fenomena bentuk periwayatan hadis dengan lafazd atau makna. Demikian juga untuk mejaga otentisitas dan kredibilitas hadis Nabi dalam persambungan periwayatan antara satu generasi dengan generasi sesudahnya, pada masa awal Islam telah lahir teori system Isnad. Sehingga hadis Nabi yang diriwayatkan bisa dipertanggungjawabkan secara baik dan benar.

DAFTAR PUSTAKA

Noorhidayati  Salamah, M.Ag. 2009. Kritik Teks Hadis. Yogyakarta: Teras.
Mustafa Azami  Muhammad, MA, Ph.D. 1992. Metodologi Kritik Hadis. Jakarta Pusat: Pustaka Hidayah.
Drs. Assa’idi  Sa’dullah, MA. 1996. Hadis-Hadis  Sekte. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.





[1]  Louis Ma’luf, Al Munjid, fi al Lugah wa al A’lam(Beirut: Dar al Masyriq, 1986), hlm. 289.
[2]  Departemen Agama Ensiklopedi Islam 3 (Jakarta: CV. Anda Utama, 1993), hlm. 1002
[3] Mustafa Amin Ibrahim at Taziy, Muhadrat fi Ulum al Hadis (Mesir:Dar at Taf’lif bi al      Maliyyah,t.t.),Juz,I,cet.IV,hlm.18.Bandingkan dengan Badran Abu al’Ainan Badran ,Al Hadis an Nabawy asy Syarif Tarikhuh wa Mustalahuh(Iskandariyah:Muassasah Syabab al Jami’ah,1984),hlm.8;Jalal ad Din Abu al Fadl’Abd ar Rahman as-Suyutiy,Tadrib ar Rawi  fi  Syarh Taqrib an Nawawiy (Beirut:Dar al Fikr,1414 H./1994),hlm.13
[4] M. Syuhudi Ismail,Kaedah Kesahihan Sanad Hadis(Jakarta:Bulan Bintang,1988),hlm .21.
[5] Ibid
[6] At Taziy,op.cit.,hlm.30.
[7] Abu al-Husain Muslim bin al-Hajjaj bin Muslim an-Naisabury,Sahih Muslim(Beirut:Daar al Kutub al-Ilmiyyah,[t.t.]),juz II,hlm.598.
[8] At Taziy,op.cit.,hlm.31.
[9] Ibid.;M.M. Abu Syuhbah,Fi Rihab as-Sunnah al-Kutub as-Sihah as-Sittah(Al-Azhar: Majma’ al-Buhus al-Islamiyah, 1969), hlm. 32.
[10] Departemen Agama, Al Qur’an dan terjemahannya (Jakarta: PT. Intermasa, 1993), hlm. 846.
[11] Ilmu Hadist Dirayah  merupakan salah satu cabang ilmu hadis, yaitu suatu ilmu untuk keadaan sanad dan matan dari segi diterima dan ditolaknya dan hal—hal yang berkaitan dengan itu, atau ilmu untuk mengetahui kaedah-kaedah tentang periwayat dan matan hadis. Definisi ini diutarakan Ibnu Hajar dan diikuti oleh ulama-ulama ahli hadis. Lihat Muhammad ‘Ajjaj al Khafib, Usul al Hadis ‘Ulumuh wa Mustalahuh(Beirut: Dar al Fikr, 1998), hlm. 7; Muhammad Jamal ad Din al Qasimiy, Qawaid atTahdis min Funun Mustalah al Hadis ([t.k.]: ‘Isa al Babiy al Halabiy wa Syirkah 1961), hlm. 75; M. Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis(Jakarta; Bulan Bintang, 1954) hlm. 151; Mahmud at Tahhan, Tafsir Mustalah al Hadis([t.k.] : [t p.], 1978), hlm. 14.
[12] At Taziy,op.cit., hlm. 33; Abun Syuhbah, op.cit., hlm. 33.
[13] Ibid. (at Taziy), hlm. 34; al Qasimiy, op.cit.. hlm. 201; Badran, op.cit. , hlm. 10; Ibid. (Abu Syuhbah).
[14] Ibid. (at Taziy).
[15] Abu al Fadl ‘Iyad bin Musa al Yahsubiy, Al Ilma Ila Ma’rifah Usul ar Riwayah wa Taqyid as Sima’ (Mesir: Dar at Turas, 1970), hlm. 194; Al Hakim Abu ‘Abd Allah Muhammad bin ‘Abd Allah al Hafiz an Naisaburiy, Ma’rifah al ‘Ulum al Hadis (Madinah: Maktabah al ‘Ilmiyyah, 1977), hlm. 6;Imam Abu ‘Amr ‘Usman bin ‘Abd ar Rahman asy Syahrazuwariy yang lebih terkenal dengan sebutan Ibn as Salah, ‘Ulum al Hadis (Madinah: Maktabah al ‘Ilmiyyah,1966), hlm. 231.
[16] Muslim, op.cit., hlm. 8.
[17] Syuhudi Ismail, op.cit., hlm. 22 23; as Suyutiy, op.cit., hlm. 219 221.
[18] Syuhudi, kaedah, hlm. 203.
[19] At Taziy, op.cit., hlm. 47.
[20] Al Khatib, op.cit., hlm. 32. Bandingkan dengan Ibid., hlm. 16; al Qasimiy, op.cit., hlm. 202; Nur ad Din ‘Itr, Al Madkha Ila Ulum al Hadis (Madinah: Maktabah al ‘Ilmiyyah, 1966), hlm. 12.
[21] Ibid. (al Khatib). Bandingkan Ibid. (at Taziy), hlm. 17; Ibid. (al Qasimiy); Ibid. (‘Itr).
[22] Syuhudi Ismail, op.cit., hlm. 118.
[23]Ibid., hlm. 120.
[24] Syuhudi Ismail, op.cit., hlm. 8 dan dalam bukunya, Metodologi Penelitian Hadis Nabi (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), hlm. 18.
[25] Al Kitab, op.cit., hlm. 227. Lihat pula at Tahhan, op.cit., hlm.155.

0 komentar:

Posting Komentar