PENDAHULUAN
Nabi Muhammad saw adalah teladan yang
senantiasa dicontoh para sahabat. Setiap perkataan, perbuatan, dan taqrir
Nabi saw. menjadi referensi kehidupan sahabat-sahabat tersebut. Oleh sebab itu,
tidak mengherankan jika hampir setiap gerak-gerik Rasul diketahui dan
diriwayatkan oleh sahabat-sahabatnya itu. Dengan demikian, bagi mereka Nabi saw
adalah sumber ilmu pengetahuan. Keterkaitan antara
hal ihwal Nabi Muhammad dengan umatnya merupakan hal yang sangat penting dikarenakan
adanya perbedaan redaksi yang disebabkan individualitas penulisan para sahabat
dan perbedaan persepsi. Sehingga kita dapat lihat kebenaran isi (matan) dan
mata rantai sanad yang menjadi inti dari memperbincangkan hadis Nabi Muhammad
saw. dan kita juga dapat melihat bagaimana sikap para sahabat akan kebenaran “khabar” itu dan siapa yang berperan
dalam periwayatan tersebut. Selain para sahabat, ada juga yang berperan dalam
eksistensi hadis yaitu kalangan Tabi’in. Di mana kalangan tabi’in merupakan
periode kedua setelah sahabat yang dengan kepiawaiannya mereka bisa mencari
keaslian makna hadis. Sehingga, dari rentetan pencarian kebenaran tersebut kita
bisa menilai apakah hadis itu bisa diterima atau tidak. Dalam makalah ini akan
dikupas beberapa hal yang terkait dengan penyebaran hadis pada masa sahabat dan
tabi’in,
PEMBAHASAN
1.
Masa Sahabat (Hadis pada Masa
Khulafa al-Rasyidin)
a.
Perkembangan Hadis
Sahabat
adalah
a. Orang yang pernah berjumpa dengan Nabi
Muhammad saw. dengan beriman kepadanya
dan mati sebagai orang Islam.
b. Orang yang lama menemani Nabi Muhammad
saw. dan berulang kali mengadakan pertemuan dengan beliau dalam rangka
mengikuti dan mengambil pelajaran dari beliau.
c. Orang Islam yang pernah menemani Nabi
Muhammad dan pernah melihat beliau.
Dari uraian di atas dapat disederahanakan dan diketahui
bahwa sahabat merupakan yang mempunyai unsur bertemu bergaul dan dekat dengan
Nabi, beragama Islam, serta meninggal dalam keadaan Islam. Periode Rosul adalah
periode ketika Rosul masih hidup yang lazim disebut periode wahyu dan
pembentukan tata aturan Islam. Sedangkan pada periode sahabat merupakan periode
di mana merupakan periode setelah Rosul wafat hingga munculnya periode
setelahnya atau disebut periode tabi’in[1].
Di periode sahabat, daerah kekuasaan Islam semakin meluas dan penyiaran hadis
sebagai bagian dari penyiaran Islam menyertainya. Setelah wafatnya Nabi saw, Abu Bakar diangkat menjadi
khalifah.
Komitmen Abu Bakar untuk
menegakkan hukum Allah dan sunnah Rasul saw. dibuktikan dengan kebijakannya memerangi
kaum munafik. Pada masa ini hal yang sudah muncul dan harus dihadapi oleh umat
Islam adalah persoalan orang-orang murtad dan orang-orang yang memalsukan hadis[2]. Beliau bersumpah
bahwa orang yang tidak mau membayar zakat akan diperanginya karena tindakan itu
berseberangan dengan Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah saw. Kepengikutan sahabat
terhadap Sunnah setelah khalifah ini terus berlanjut, misalnya di dalam
pemerintah Umar, Usman, dan Ali[3].
Periwayatan hadis
pada masa Abu Bakar dan Umar bin Khattab masih terbatas disampaikan kepada yang
memerlukan saja, belum bersifat pengajaran resmi. Demikian juga dengan
penulisan hadis. Periwayatan hadis begitu sedikit dan lamban. Hal ini
disebabkan kecenderungan mereka untuk membatasi atau menyedikitkan riwayat (Taqlil
al-Riwâyah), di samping sikap hati-hati dan teliti para sahabat dalam menerima
hadis. Abu Bakar sangat hati-hati dalam meriwayatkan hadis, jika terdapat
masalah akan dicarikan ketentuannya dalam Alquran maupun hadis, jika tidak
ditemukan maka akan dicarikan pengukuhan atau saksi dari para sahabat lain[4].
Ali bahkan hanya mau menerima hadis perorangan jika orang tersebut bersedia
disumpah karena pada masa itu muncul pemalsuan hadis. Hal ini dimaksudkan agar
umat Islam tidak begitu saja mempermudah urusannya agar tidak terjadi penipuan,
kebohongan maupun mendapatkan hadis palsu tersebut. Selain
Alquran sebagai sumber pertama hukum Islam, Sunnah Rasulullah saw. menempati
urutan kedua. Ketika menjelang wafatnya Rasul saw. beliau bersabda, “Aku meninggalkan bagi kamu dua hal, jika
kamu berpegang kepadanya, kamu tidak akan tersesat, yaitu kitab Allah dan
sunnahku”. Para sahabat berpegang teguh dengan wasiat Rasul saw. tersebut,
yang dimaksud dengan berpegang kepada kitab Allah adalah menjadikan Alqur’an
sebagai way of life. Ini berarti para sahabat mengamalkan perintah yang
terdapat di dalamnya dan menjauhi laranganNya. Berpegang pada Sunnah Nabi saw.
berarti mengikuti petunjuk Nabi saw. dan memelihara kemurniannya. Oleh sebab
itu, sebagaimana yang akan dijelaskan lebih lanjut, sahabat sangat hati-hati
sekali meriwayatkan sunnah Nabi SAW
b.
Metode sahabat
memelihara kemurnian Sunnah Nabi saw
1. Taqlil Ar-riwayah
Secara khusus, dalam pemerintahan Abu
Bakar dan Umar, ditemukan kesan adanya upaya meminimalisasi riwayat hadis. Jika
diamati, mengapa sahabat membatasi periwayatan, maka ditemukan jawaban di
sekitar hal ini yang bersifat kondisional dan bersifat kehati-hatian, yaitu:
1. Pada
masa Abu Bakar, pusat perhatian tertuju pada pemecahan masalah politik,
khususnya konsolidasi dan pemulihan kesadaran terhadap perlunya menjalankan
roda khilafah Islam . Oleh sebab itu, gerakan periwayatan dengan sendirinya
terbatas.
2. Sahabat
masih dekat dengan era Nabi saw. dimana umumnya mereka mengetahui Sunnah.
Sehingga persoalan-persoalan hukum dan sosial telah mendapat jawaban dengan
sendirinya pada diri mereka. Memang diakui adanya pergeseran-pergeseran
kehidupan dan munculnya masalah baru yang ditemui para sahabat, tetapi itu
tidak terlalu signifikan sebagaimana yang ditemukan generasi setelah sahabat.
Dalam masalah-masalah pengecualian seperti persoalan baru atau salah seorang di
antara mereka tidak mengetahui adanya Sunnah, maka mereka saling memberi
peringatan.
3. Para
sahabat lebih menfokuskan diri pada kegiatan penulisan dan kodifikasi Alquran. Kegiatan
ini bukanlah pekerjaan mudah, sebab sahabat-sahabat mesti menyeleksi
tulisan-tulisan dan hafalan di antara mereka untuk dibukukan dalam satu buku
atau mushaf. Zaid bin Tsabit, pernah berkata ketika ditunjuk oleh khalifah
memimpin penyusunan kembali tulisan Alquran bahwa beliau lebih suka disuruh
memindahkan gunung Uhud ketimbang melakukan pekerjaan ini.
4. Adanya
kebijaksanaan yang dilakukan penguasa, khususnya Umar, agar sahabat
menyedikitkan riwayat. Ini disebabkan kecenderungannya yang sangat selektif,
berhati-hati, dan diiringi sikap ketegasannya. Dalam kaitan ini kemungkinan
Umar ingin melakukan penyebaran Alquran lebih diprioritaskan ketimbang Sunnah.
Sebab, andaikata gerakan sunnah lebih diutamakan, maka kemungkinan masyarakat
yang baru memeluk Islam akan melupakan Alquran dan lebih memprioritaskan
Sunnah. Dengan demikian, regenerasi penghafal Alquran tentu tidak akan mencapai
kesuksesan, karena perhatian kepada Sunnah. Padahal diketahui bahwa Umar merupakan
pemrakasa penulisannya Alquran dengan alasan kekhawatirannya yang besar atas
wafatnya sahabat-sahabat Nabi penghafal Alquran dalam memerangi kaum murtad di
masa Abu Bakar.
5. Sahabat
khawatir terjadinya pemalsuan hadis yang dilakukan oleh mereka yang baru masuk
Islam, sebab sunnah belum terlembaga pengumpulannya sebagaimana Alquran. Umar
pernah mempersyaratkan penerimaan hadis dengan mendatangkan saksi atau
melakukan sumpah, namun beliau juga pernah menerima hadis tanpa persyaratan itu
2. Tatsabbut Fi Ar-riwayah
Adanya gerakan pembatasan riwayat di
kalangan sahabat tidaklah berarti bahwa mereka sama sekali tidak meriwayatkan
Sunnah pada masanya. Maksud dari pembatasan tersebut hanyalah menyedikitkan
periwayatan dan penyeleksiannya. Konsekuensi dari gerakan pembatasan tersebut,
muncullah sikap berhati-hati menerima dan meriwayatkan Sunnah. Para sahabat
melakukan penyeleksian riwayat yang mereka terima dan memeriksa Sunnah
yang mereka riwayatkan dengan cara mengkonfirmasikan dengan sahabat lainnya
2.
Masa Tabi’in
Tabi’in adalah orang Islam yang bertemu dengan sahabat,
berguru dan belajar kepada sahabat, tapi tidak bertemu dengan Nabi saw. dan
tidak pula semasa dengan Nabi saw[5].
Tabi’in Besar (Kibar Tabi’in) adalah Tabi’in yang banyak bertemu sahabat,
belajar dan berguru kepada mereka. Tabi’in besar besar ini di antaranya yang
dikenal dengan fukaha tujuh, yaitu, Sa’id Ibn Musayyab, Al-Qasim Ibn Muhammad
Abu Bakr, Urwah bin Zubair, Kharijah Ibn Zaid, Abu Ayyub Sulaiman Hilali,
Ubaidullah Ibn Utbah, Abu Salamah Ibn Abdurahman ibn Auf. Tabi’in Kecil (Sighor
Tabi’in) adalah Tabi’in yang sedikit bertemu sahabat dan lebih banyak belajar
dan mendengar Hadis dari Tabi’in besar. Peranan Tabi’in dalam pertumbuhan sejarah
hadis tidak dapat dipungkiri merupakan salah satu peranan besar dalam kesinambungan
dan pemeliharaan hadis. Khususnya setelah masa pemerintahan Usman dan Ali.
Setelah berakhirnya masa pemerintahan Ali Bin Ali Thalib,
mulailah usaha dan kesungguhan mencari hadis dan menghafal hadis oleh kalangan
Tabi’in dengan mengadakan perjalanan untuk sekedar mencari ilmu (ilmu ketika
itu berupa pencarian hadis-hadis Nabi). Para tabi’in memperoleh hadis dari para
sahabat. Mereka berbaur dan mengenal segala sesuatu dari para sahabat dan
mereka juga membawa sebagian besar hadis Rasul dan para sahabat. Mereka
benar-benar mengetahui kapan para sahabat melarang penulisan hadis dan kapan
mereka memperbolehkannya. Mereka benar-benar mengambil teladan dari para
sahabat yang merupakan generasi pertama yang membawa Alquran dan hadis. Karena
alasan-alasan yang menyebabkan khulafaurrasyidin dan para sahabat lain melarang
penulisan hadis sama dengan alasan-alasan yang menjadi pertimbangan para
tabi’in dalam pelarangannya, sehingga semua mengacu pada titik yang sama. Para
tabi’in akan melarang penulisan Sunnah bila alasan-alasan itu ada dan akan
menyepakati kebolehan penulisannya ketika alasan-alasan itu hilang ataupun
bahkan mayoritas mereka menganjurkannya.
Pada era tabiin, keadaan Sunnah tidak
jauh berbeda dari era sahabat. Namun, pada masa ini, tabiin tidak lagi
disibukkan oleh beban yang dipikul sahabat. Sebab, Alquran telah dikodifikasikan
dan disebarluaskan ke seluruh negeri Islam. Oleh sebab itu, maka tabiin dapat
memfokuskan diri untuk mempelajari Sunnah dari para sahabat. Kemudahan lain
yang diperoleh tabiin karena sahabat-sahabat Nabi saw telah menyebar ke seluruh
penjuru dunia Islam[6].
Sehingga, mereka mudah mendapatkan
informasi tentang Sunnah. Daerah yang telah dikuasai umat Islam pada era tabiin
antara lain Madinah, Makkah, Kufah, Bashrah, Syam, Mesir, Maghribi dan
Andalusia, Yaman, Jurjan, Qazwin, Samarkand, dan lainnya[7]. Di daerah-daerah
ini Sunnah telah tersebar. Adapun metode Tabiin dalam menjaga Sunnah, dapat
kita simpulkan, yaitu menempuh metode yang sudah dilakukan para sahabat, menerima
riwayat dari orang yang kapasitasnya tsiqah dan dhabit, meminta sumpah dari periwayatnya
saat mencari dukungan dari perawi lain, melakukan rihlah untuk mengecek hadis dari
pembawa aslinya.
3.
Timbulnya Pemalsuan Hadis
Pergolakan politik yang terjadi pada
masa sahabat, setelah terjadinya perang jamal dan perang shiffin, yaitu ketika
kekuasaan dipegang oleh Ali bin Abi Thalib. Akan tetapi akibatnya cukup panjang
dan berlarut-larut dengan terpecahnya umat Islam ke dalam beberapa kelompok
yaitu pertama, golongan Syi’ah, pendukung ‘Ali bin AbiThalib, kedua adalah
golongan Khawarij, penentang Ali dan Mu’awiyah, ketiga adalah golongan jama’ah
yang tidak mendukung kedua golongan di atas. Terpecahnya umat Islam menjadi
beberapa golongan tersebut didorong akan adanya keperluan dan kepentingan
golongan masing-masing. Mereka mendatangkan keterangan dan hujjah untuk
mendukungnya dengan beberapa cara, yaitu:
a.
Mereka mencari ayat-ayat Alquran dan hadis yang dapat
dijadikan hujjah.
b.
Apabila mereka tidak menemukannya, mereka menakwilkan ayat
Alquran dan menafsirkan hadis-hadis sesuai dengan golongannya.
c.
Langkah terakhir,
apabila mereka tidak mendapatkannya dari kedua sumber tersebut, maka mereka
memalsukan hadis-hadis, dan yang pertama mereka palsukan adalah hadis yang
mengenai orang-orang yang mereka agung-agungkan[8].
Golongan yang
mula-mula melakukan pekerjaan sesat ini adalah golongan Syi’ah, sebagaimana,
diakui Ibn Ali al-Hadid, seorang ulama Syi’ah dengan mengatakan bahwa asal mula
timbulnya hadis yang menerangkan keutamaan pribadi-pribadi adalah dari golongan
Syiah sendiri. Tindakan tersebut ditandingi oleh golongan Jamaah memalsukan
hadis-hadis yang dibuatoleh golongan Syiah[9].
Dengan memperhatikan
keterangan tersebut, dapat diketahui bahwa kota yang mula-mula mengembangkan hadis-hadis palsu
adalah baghdad, karena kaum syi’ah berpusat di sana. Bahkan al-Zuhri, seorang
tabi’in berkata: “hadis keluar dari
sejangkal, lalu kembali kepada kami sehasta”[10],
sehingga tidak aneh jika Imam Malik menamakan Baghdad dengan pabrik
hadis palsu. Mulai saat itu, terdapat hadis-hadis yang shahih dan hadis-hadis
yang palsu.
Mereka melakukan
penelitian mengenai segala hal yang berkaiatan dengan hadis Nabi SAW, baik
secara riwayat maupun dirayat dan menetapkan aturan-aturan yang tetap agar
hadis dapat selamat sampai ketangan penerusnya. Cara-cara ulama dalam menjaga
hadis, yaitu dengan adanya keharusan menyebut kan sanad, mengadakan perlawatan
mencari hadis dan berhati-hati dalam menerimanya, mengadakan penelitian
terhadap orang-orang yang diduga sering membuat hadis palsu dan memerangi mereka,
menjelaskan keadaan perawi dan menetapkan kaidah-kaidah untuk dapat mengetahui
hadis-hadis palsu.
4.
Kodifikasi Hadis
Pada masa sahabat belum ada pembukuan hadis secara resmi
yang diprakarsai pemerintah, padahal peluang untuk membukukan hadis terbuka.
Umar bin Khattab pernah berfikir membukukan hadis, beliau meminta pendapat para
sahabat, dan disarankan membukukannya. Setelah Umar bin Khattab istikharah
sebulan lamanya ia membatalkan rencana tersebut. Pada masa tabi’in wilayah
islam bertambah luas. Perluasan daerah tersebut diikuti dengan penyebaran ulama
untuk menyampaikan ajaran islam di daerah-daerah, termasuk ulama hadis.
Penyebaran hadis disesuaikan dengan kekuatan hafalan masing-masing ulama itu
sendiri, sehingga tidak merata hadis yang dimiliki ulama hadis. Maka kondisi
tersebut sebagai alasan kodifikasi hadis. Selain itu alasan lain mengapa
kodifikasi perlu dilakukan adalah adanya pertama kekhawatiran hilangnya
hadis-hadis, dengan meninggalnya para ulama di medan perang. Kedua, kekhawatiran
akan tercampurnya antara hadis-hadis yang shahih dengan hadis-hadis yang palsu.
Kodifikasi ini disinonimkan dengan tadwin al-hadits tentunya
berbeda dengan penulisan hadis kitabah al-hadits. Tadwin al-hadits mempunyai
makna penulisan hadis Nabi ke dalam suatu buku (himpunan, dan susunan) yang
pelaksanaanya dilakukan atas legalitas yang berlaku umum dari lembaga
kenegaraan yang diakui masyarakat. Sedangkan Kitabah al-Hadis itu sendiri asal
mulanya merupakan hasil kesaksian sahabat Nabi terhadap sabda, perbuatan,
taqrir, dan atau al-ihwal Nabi kemudian apa disaksikan oleh sahabat itu lalu
disampaikannya kepada orang lain, dan seterusnya, baik secara lisan maupun
tulisan[11]. Jadi
belum merupakan kodifikasi, akan tetapi baru merupakan tulisan-tulisan-tulisan
atau catatan-catatan pribadi. Sedangkan perbedaan-perbedaan antara kodifikasi
hadis secara resmi dari penulisan hadis adalah sebagai berikut,
1. Kodifikasi hadis secara resmi dilakukan
oleh suatu lembaga administratif yang diakui masyarakat, sedang penulisan hadis
dilakukan oleh perorangan.
2. Kegiatan kodifikasi hadis tidak hanya
menulis, tapi juga mengumpulkan, menghimpun serta mendokumentasikannya.
3. Tadwin hadis dilakukannya secara umum,
yang melibatkan segala perangkat yang dianggap berkompeten terhadapnya, sedang
penulisan hadis dilakukan oleh orang-orang tertentu.
PENUTUP
Sudah sepatutnya kita bersyukur akan nikmat dan karunia dari
Allah saat ini sehingga kita dapat mengkaji dan meneliti akan sebuah hadis
dengan mudahnya, melalui kitab-kitab hadis yang telah terkodifikasi oleh para
ulama dahulu. Apabila dahulu, para sahabat dan tabi’in tidak terbersit dalam
pikiran mereka untuk mengkodifikasi hadis-hadis dari Nabi saw. mungkin saat ini
umat Islam sulit dalam menentukan segala macam hukum dan permasalahan yang
muncul saat ini. Penyebaran Hadis di masa sahabat dan tabi’in berkembang pesat
yang ditandai dengan gerakan mencari ilmu oleh para sahabat sendiri kepada
sahabat lainnya dari masalah yang tidak diketahuinya. Bahkan seorang sahabat
pergi menemui sahabat lainnya yang berjarak ribuan kilometer hanya untuk
menanyakan satu hadis saja. Begitu pula para tabi’in yang tidak segan-segan
mendatangi daerah tertentu untuk belajar kepada seorang sahabat ataupun
beberapa sahabat sekaligus. Islam tersebar luas dan terus menggeliat ketika itu
dibawah dakwah para sahabat dan tabi’in. Mereka giat menyiarkan Alquran dan
hadis Nabi saw. sebagai sumber pokok ajaran Islam. Beberapa catatan hadis (sahifah)
telah ditulis sebelum awal abad ke-1 H. Dan ini sebagai bukti kuat serta bantahan
kalangan Orientalis yang menyerang umat Islam melalui hadis dengan menganggap
hadis pertama kali dibukukan sesudah abad ke-1 H.
Adapun cara periwayatan hadis pada masa sahabat terbagi
menjadi dua yaitu: Periwayatan Lafdzi (Redaksi sama persis dengan Rasulullah)
dan Periwayatan Maknawi (Redaksi tidak sama persis akan tetapi makna dan intinya
sama). Pada masa sahabat belum ada penulisan hadis secara resmi sebab dikhawatirkan
bercampur dengan Alquran dan umat Islam lebih difokuskan untuk mempelajari Alquran.
Begitu juga pada masa Tabi’in, yang mengikuti jejak para sahabat, periwayatan
hadisnya pun tidak jauh berbeda. Hanya saja pada masa ini AlQuran sudah
dikumpulkan dalam satu mushaf. Pada masa tabi’in timbul usaha yang lebih
sungguh-sungguh untuk mencari dan meriwayatkan hadis. Apalagi sejak semakin
maraknya hadis-hadis palsu.
DAFTAR PUSTAKA
Ash-Shidiqie,
Hasbi. 1974. Sejarah dan Pengantar Ilmu
Hadis. Jakarta: Bulan Bintang.
Ash-Shidiqie,
Habi, 1976. Pokok-Pokok Ilmu Dirayah
Hadis. Jakarta: Bulan Bintang.
Suparta,
Munzier. 1993. Ilmu Hadis. Jakarta:
PT Grafindo Persada.
Zuhri, Muh.
1997. Hadis Nabi. Yogyakarta: PT
Tiara Wacana Yogyakarta.
Arifin, Zainul.
2005. Studi Kitab Hadis. Surabaya:
Alpha.
artikelnon-personal,
20Februari2010, sejarah hadis pada masa sahabat dan tabiin, pusat kajian hadis, http://pusatkajianhadis.com,
5Oktober2011
artikelnon-personal,
31Desember2010, hadismasatabiin, http://www.scribd.com 5Oktober2011
artikelnon-personal,
2Mei2010,hadis, http://id.wikipedia.org, 6Oktober2011
artikelnon-personal,
10Januari2011, sejarahhadispadamasatabiin,
satriauiniversitas, http://santriuniversitas.blogspot.com,
10Oktober2011
salwin, 26Agustus2011, penyebaranhadismasasahabatdantabiin, artikelkisahislami, http://salwintt.wordpress.com,
9Oktober2011
[1]
Muh. Zuhri, Hadis Nabi, Tiara Wacana Yogya, Yogyakarta, 1997. Hal. 37
[2]
Muh. Zuhri, Hadis Nabi, Tiara Wacana Yogya, Yogyakarta, 1997. Hal. 38
[5]
Hasbi Ash-Shidiqie, Sejarah dan Pengantar
Ilmu Hadis, bulan bintang, 1974, hal 67
[6]
Hasbi Ash-Shidiqie, Pokok-Pokok Ilmu
Dirayah Hadis, Bulan Bintang, Jakarta, 1974, hal. 69.
[7]
Muh. Zuhri, Hadis Nabi, 1994, hal. 74.
[11] http://salwintt.wordpress.com/artikel,
penyebaran-hadits-masa-sahabat-dan-tabiin
0 komentar:
Posting Komentar